CHAPTER 38

5.3K 236 1
                                    


Matahari sedang terik - teriknya, Camille terus mengeluh sejak tadi karena jam olahraganya tepat saat matahari sedang muncul di atas mereka. Ia duduk di pinggir lapangan. Dikipas - kipasnya kepalanya dengan tangan kanannya. Keringat pun mulai memenuhi dahi gadis itu.

Setelah pelajaran, Camille tidak langsung menuju kelas. Ia pergi ke taman belakang sekolah sebentar. Entahlah ada perasaan tidak enak di benaknya.

Seperti biasa taman itu sepi, tenang, dan sangat sejuk. Benar - benar membuatnya rileks.

Camille melangkah menuju bangku andalannya. Yaitu yang paling dekat dengan pohon yang sangat rindang. Ia duduk di sana. Disenderkannya badannya sambil menutup kedua matanya.

Tiba - tiba pikirannya menangkap Shane. Pukul berapa ia mematikan teleponnya tadi malam? Apa dia melihat Camille tertidur dalam keadaan mulut terbuka? Ah dia malu sekali. "Aish bagaimana kalau dia ternyata melihatku tidur dalam keadaan yang buruk? Ah aku malu sekali!"

Gadis itu menepuk - nepuk jidatnya. Ia menghentak - hentakkan kaki di tanah, kemudian ditariknya nafas dalam - dalam.

Tak lama Camille langsung merasa bersalah. Ia tidak tahu bagaimana respon Shane jika mengetahui bahwa Camille sudah mencari tahu semuanya sejak lama. Dan semua yang diketahuinya itu berasal dari Edwin. Semua yang tersembunyi selama ini, Jason, hingga kenyataan menyakitkan bagi Edwin sendiri. Ia merasa bersalah sekali jika Shane mengetahui itu semua. Laki - laki itu kemungkinan besar akan langsung marah padanya.

Camille memejamkan matanya. Ia berpikir bagaimana harus mengatakan ini pada Shane. Laki - laki yang sulit mengendalikan emosi itu bisa saja langsung meledakkan kemarahannya di depan Camille. Ia tidak peduli situasi semacam apa itu, jika ia sedang marah, kemarahannya itu akan sangat sulit untuk ia kontrol sendiri.

Camille membuka matanya. Ujung mata kirinya melihat ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ia menoleh sedikit "Kau sedang memiliki banyak pikiran?"

"Hei! Kau mengagetkanku!" dipukulnya lengan Edwin dengan keras.

"Pukulanmu keras juga ya. Untunglah aku tidak bisa memukul seorang perempuan"
"Bagus. Kau memang laki - laki sejati" kata Camille sambil menepuk - nepuk bahu Edwin.

"Kenapa kau kemari? Ada masalah?" Camille terdiam lagi. Ia menunduk sebentar. "Shane pergi ke London hari ini"

"Benarkah?"

"Hmm. Aku terus memikirkannya" keluh Camille. Edwin mengerutkan keningnya. "Apa yang kau pikirkan?"

"Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan yang sebenarnya pada Shane. Ia pasti akan marah jika tahu kalau aku sudah mencari tahu ini semua sejak lama. Kau tahu itu kan?" Edwin tidak menjawab. Ia sepertinya mulai mengerti yang dikatakan Camille barusan.

"Ya. Aku tahu. Aku bahkan tidak bisa mengatakan padanya langsung kalau ayahku yang melakukannya. Mungkin aku akan habis di tangannya"
"Ya tuhan kita mempunyai ketakutan yang sama. Apa kita harus mengatakannya langsung?" Camille mulai khawatir.

"Biarkan saja. Dia akan tahu kebenarannya disaat waktunya tiba. Sama seperti kita saat menunggu ini semua"
"Kuharap begitu. Aku hanya takut dia marah padaku, itu saja Ed"
"Katakan padaku jika ia melakukan itu. Ia tidak seharusnya melakukan itu. Niatmu adalah membantu mencari tahu keadaan yang sebenarnya kan?"
"Memang. Aku hanya tidak ingin melihat dia selalu memikirkan hal yang tidak pasti seperti ini. Aku hanya tidak tahan melihatnya terus memikirkan kematian ibunya" jelas Camille.

Memang itulah yang dirasakannya. Ia mengatakan yang sebenarnya pada Edwin. Laki - laki itu adalah satu - satunya orang terpercaya bagi Camille. Edwin langsung merangkul gadis itu.

PAYBACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang