Part 48

469 17 4
                                    



"Sini sayang."panggil Om Fajar padaku.

"Ada apa om?"tanyaku berjalan kearahnya.

Tetap lah sama. Om Fajar hanya tersenyum ke arahku. Tak ada sepatah kata pun terlontar dari bibirnya. Aku mulai curiga dengan keadaan di dalam sana. Aku pun melihat sekelilingku. Mama, papa, ayah, bunda, dan Rafi. Semuanya tersenyum kearahku. Aku pun semakin bingung dengan keadaan ini.

"Om, ada apa?"tanyaku tepat menatap manik matanya. Selang berapa waktu, aku melihat jasad yg keluar dari UGD. Hatiku mencelos saat itu juga.

"O...Om, i..itu..ma..mayat si..siapa?"tanyaku terbata.

"Maaf Vi, ini sudah takdirNya."ucapnya masih dengan senyum.

"Enggaaaaaaa! Om bohong! Itu bukan Mas Ilham! Bukan!" bentakku.

"Nduk, tenangkan hati mu. Pasrahkan semua pada Nya."ucap bunda memelukku.

"Enggaaaaaaaaaa! Itu bukan Mas Ilham!"

"Mas Ilham janji mau nikah sama aku!" teriakku.

"Bukalah penutup itu dan lihatlah."perintah Om Fajar.

Aku pun menjauh dari pelukan bunda. Dengan segenap hati aku paksakan untuk melangkah. Memastikan bahwa seseorang di yang tertutup oleh kain putih itu bukanlah Mas Ilham. Kini, aku telah berada didepan penutup itu.

"Maaaaaaaaaaaaaaaaaas Ilhaaaaaaaaaaaaaaam! Banguun mas! Ayo bangun mas! Kita akan menikah mas! Kita menikah."teriakku histeris sembari mengguncangkan tubuhnya.

Sesaat aku terdiam. Ku perhatikan wajahnya yang kini tengah damai. Bibirnya yang menjadi canduku, dan hidung mancung yang selalu menggesek hidungku. Ku sentuh wajahnya, dia tak bergeming. Dan tangisku pun pecah. Smula yang ku anggap mimpi, kali ini berubah menjadi kenyataan. Dia pergi. Di telah tiada. Aku, haruskah aku menjalani hidup seorang diri? Mampukah aku berdiri di tengah ketidakmampuanku? Mampukah aku? Bisa kah aku? jeritku dalam hati bersamaan dengan turunnya air mata yang sejak tadi ku tahan.

"Sabar ya sayang."ucap mama dengan memelukku kemudian mencium pelipisku.

"Nduk, yang sabar. Pasrahkan semuanya. Ini sudah takdirnya."ucap bunda yang kemudian memelukku erat.

"Engga! Kalian semua bohong! Mas Ilham pasti bangun!" bentakku.

"Ve, sabar ya nak."ucap ayah.

"Enggaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! Kalian semua bohong sama Ve!" jeritku memenuhi lorong UGD

"Kalian bohong! Bilang ini cuma mimpi! Bilang Raf! Bilang!" teriakku.

"Neng! Lihat itu! LIhat Mas Ilham! Dia sudah damai!" bentak Rafi kearahku.

Tubuhku pun luruh ke lantai. Mataku menatap nanar pada jasad di hadapanku. Aku tak tahu, apa ini mimpi atau pun kenyataan.

"Mas? Bangun yuk? Mas engga capek bobok terus? Mas, Via di sini."ucapku sesenggukan di hadapan jasadnya.

"Aku akan memenuhi janjiku mas. Aku akan menunggumu di sini."ucapku dengan deraian air mata.

"Neng, lihat Rafi! Dia sudah meninggal!"ucapnya nyaring.

"Engga Raf,kamu salah."ucapku tersenyum kearah Mas Ilham.

"Mas Ilham Cuma tidur aja. Besok pasti udah bangun lagi."ucapku tanpa melirik kearah Rafi.

"Dok? Bagaimana?"ucap salah seorang perawat.

"Bawa ke mobil jenazah. Kita kebumikan hari ini juga."tegas papa .

Sementara aku masih menatapnya dengan ketidakpercayaan atas apa yang terjadi di hadapanku. Aku pun mengikuti mobil jenazah itu ke kediaman papa.


***


Seusai acara pemakaman, aku masih duduk di sebelah tempat peristirahatan terakhirnya. Hatiku sakit, sedih, kecewa, takut. Semua terasa begitu lengkap. Aku pun hanya bisa duduk terdiam menatap nisan yang bertuliskan namanya. Aku tak menyangka, apakah memang harus seperti ini kisah cintaku? Apakah aku tak berhak untuk bahagia? Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku hanya hanya mampu berdiam diri menatap nisannya.

Tanpa ku sadari, sebuah pelukan hangat meraih tubuhku. Aku pun mendongak, menatap pemilik pelukan itu. Ya, dialah sahabatku. Sakit yang kurasa, perih yang ada mampu tersalur kepadanya. Tubuhnya pun bergetar, begitu pula denganku.

"Bakpia, sabar ya. Gue tahu, loe kuat. Dan loe pasti kuat ngadepin ini semua."tuturnya ditengah tangis. Aku pun hanya menggelengkan kepala.

"Gue engga bisa. Ini terlalu sakit buat gue. Gue rapuh Ish. Gue takut."ucapku disela tangis.

"Yuk, pulang. Yang laen udah pada pulang."ajaknya.

Aku pun berdiri dan melangkah meninggalkan tempat terakhirnya beristirahat.

"Sebentar Ish, gue mo privasi."pintaku dan dibalasnya dengan anggukan.

"Mas, Ve pulang dulu ya. Mas tenang ya disana."ucapku dengen mencium nisannya. Aku pun melangkah menjauh, tapi aku tak kuasa meninggalkannya. Mataku pun kembali menoleh kebelakang. Di sana, aku melihatnya. Aku melihat Mas Ilham dengan senyumnya. Dia menganggukkan kepalanya dan aku pun kembali meneteskan air mata. Tapi, aku tetap melangkah untuk menuju mobil Aish.


***


Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar tanpa ingin bertemu siapapun. Hatiku masih terlalu sakit menghadapi semua kenyataan ini. Mencoba tersenyum? Mungkin. Aku rapuh. Aku sakit. Aku takut. Tuhan, apakah aku masih bisa merasakan cinta?batinku dengan memeluk tubuhku.

Segera ku putar radio kesayanganku. Tapi mengapa semua berpihak pada kenyataan hari ini? Lagu yang diputar pun begitu bersahabat dengan keadaan hatiku.


Di bawah batu nisan kini

Kau tlah sandarkan

Kasih sayang kamu begitu dalam

Sungguh ku tak sanggup

Ini terjadi karena ku sangat cinta


Aku pun kembali menangis histeris. Mengingatnya yang telah pergi meninggalkanku. Aku berdiri sendiri tanpa dirinya. Apa aku bisa?batinku. aku pun menatap ponsel di nakas dan membuka kembali folder yang bertuliskan forever. Disana aku bisa melihat wajahnya kembali. Aku pun memeluk foto itu dengan deraian air mata.


Inilah saat terkhirku melihat kamu

Jatuh air mataku

Menangis pilu

Hanya mampu ucapkan

SELAMAT JALAN KASIH




Baper?

Engga kan? Alhamdulillah.....

Ditunggu vote dan comment nya ya, thank you :-)


Here,I'm Waiting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang