part 11

2.3K 150 0
                                    

Claresta mengusap bibirnya dengan tissu. Sedangkan Aldrich masih terus menatap ponselnya.

"Selalu banyak email yang harus kau balas?" tanya Claresta yang akhirnya ditanggapi Aldrich dengan tawa. Aldrich kembali meletakkan ponselnya ke atas meja dan menatap kekasihnya tajam.

"Maaf. Dan apakah kesibukanmu sudah selesai, sayang?"

"Hanya sudah berkurang sedikit. Dan aku harus menyiapkan acara pembukaan karyaku."

"Jadi kapan kau akan menyiapkan pernikahan kita?"

Claresta mencebik, "Bahkan kau belum bertemu dengan kedua orang tuaku, Al."

"Aku kan sudah mengajakmu. Tapi-"

"Aku berjanji setelah kesibukanku selesai, kita akan ke Bali. Ke rumah orang tuaku dan menikah disana."

"Menikah? Maksudmu tanpa persiapan?"

"Aku ingin menikah dengan sederhana di Bali, Al. Jika kau ingin mengadakan pesta. Kita bisa mengadakan resepsi di Jakarta. Bagaimana?"

"Apapun yang kau inginkan, Clar."

Claresta menatap dengan hangat lelaki yang ada di depannya ini.

"Kau sangat ingin menikah denganku?" tanya Claresta sedikit ragu.

"Dan apakah aku terlihat bercanda?"

"Kau terlalu serius, Al."

"Kau tau jawabannya, sayang." Aldrich tersenyum dan menggenggam tangan Claresta erat.

"Karena hanya kamu yang aku inginkan."

"Karena hanya kamu yang aku inginkan." kata Claresta mengulang perkataan Aldrich.

Aldrich menatap Claresta lekat-lekat. Ia sangat yakin Claresta adalah orang yang tepat yang dipertemukan oleh Tuhan.

Aldrich memandang Claresta dengan pandangan mendamba karena hanya Clarestalah yang setiap hari selalu membuatnya jatuh cinta.

Jatuh cinta pada segala sikapnya, pada segala tutur kata, dan kedewasaannya.

Pernikahan seperti apapun itu yang Claresta inginkan juga akan selalu menjadi pernikahan yang diinginkan juga oleh Aldrich.

Asalkan Claresta yang berdiri disampingnya. Asalkan Claresta yang menjadi pengantin wanitanya. Bukan wanita lain, karena Aldrich tak bisa membayangkan jika harus wanita lain yang akan bersanding dengannya.

Mimpi buruk, batin Aldrich berkata.

Semoga selalu seperti ini. Batin Claresta gelisah.

*****

Delaney tak tau lagi bagaimana cara menghentikan ponselnya yang terus berdering.

Bodoh! Seharusnya ia tak pernah menyalakan ponselnya lagi. Seharusnya ia tadi membiarkan saja Barbara yang selalu mengomel karena lelaki itu meneleponnya.

"Sampai kapan?" tanya Barbara yang baru saja masuk ke ruang tengah.

"What? Aku gak paham apa yang kamu tanyakan."

"Kamu jelas sangat paham, Del." jawab Barbara dengan tenang. "Dia suami kamu."

"Aku sudah menandatangani surat cerai."

"Dan apakah kamu bisa memastikan ia juga menandatangi surat cerai itu?"

Delaney terdiam. Apakah lelaki itu akan menandatangi surat cerai yang ia tinggalkan di atas meja makan sebelum berangkat ke Indonesia pagi itu?

BEAUTIFUL MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang