Claresta tertawa mendengar pertanyaan Delaney. Apa dia sedang butuh hiburan hingga melucu seperti ini?
"Aku..aku serius." kata Delaney tergagap. "Kenapa kamu tidak merebut Aldrich dariku?" Delaney sekali lagi melontarkan pertanyaannya ketika dirasa Claresta masih terlihat tak percaya.
"Kamu gila!" umpat Claresta. "Apa pentingnya pertanyaanmu?" tanya Claresta balik.
"Jawab saja Clar." wajah Delaney mulai mengeruh.
"Kenapa setelah kamu mendapatkan Al," Claresta menggeleng sejenak "Kamu menanyakan ini padaku? Bukankah harusnya ini saatmu bahagia?"
"Aku sangat yakin kamu percaya pada cinta." Claresta mengangguk setuju kala mendengar pernyataan Delaney. "Jika cinta kenapa kamu tak berusaha?"
Claresta mendengar ada yang aneh dari nada bicara Delaney yang tiba-tiba hari ini terdengar sangat lembut. Claresta menaikkan sebelah alisnya tanda bingung.
"Aku.." Claresta mencoba menyusun kalimat penjasan yang tepat untuk Delaney. "Aku sudah berusaha Del."
Delaney menggeleng tak setuju. Claresta tak terlihat melakukan sesuatu apapun untuk menghambat hubungannya dengan Aldrich.
"Kenapa aku harus memberitahumu jika aku ingin melakukannya?" kata Claresta seolah-olah meremehkan. "Kamu tak harus tahu apa yang akan kulakukan, kan?" entah kenapa Claresta sedang ingin bermain-main dengan sahabatnya dulu ini sebentar.
"Katamu kamu percaya cinta?" pertanyaan yang dilontarkan Delaney kali ini benar-benar membuat Claresta semakin bingung.
"Katakan dengan jelas apa keinginanmu ke sini, Del. Kamu bukanlah seseorang yang terlihat sedang ingin mengobrol denganku, kan?" tembak Claresta yang sudah lelah berbasa-basi lagi.
Jika boleh jujur, kedatangan Delaney saat ini bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh Claresta. Mengganggu waktu tidurnya dan menanyakan hal-hal tidak penting yang belum jelas tujuannya? C mon.. Waktu Claresta jauh lebih berguna untuk melakukan hal-hal lainnya.
Di sisi lain Delaney bingung. Dia sangat paham Claresta tak mungkin menjawab pertanyaannya karena menurut Delaney sendiri pertanyaannya amat sangat membingungkan.
"Aku ada urusan lain." putus Claresta, dia bangkit dari duduknya.
"Ya.. Iyaa.. Tunggu Clar." teriakan Delaney kemudian menahan langkah Claresta.
"Aku hanya tidak mengerti, kenapa bisa seseorang mengatakan cinta tapi dia merelakan orang yang dicintainya untuk orang lain?"
"Aku yakin kamu sedang tidak membahas tentang diriku." Claresta dengan sombong dapat menebak.
"Tapi sepertinya kamu sedang butuh seorang teman." Claresta tersenyum di akhir perkataannya. "Let me be your friend then." Claresta mengulurkan tangannya. Sedang Delaney hanya menatap telapak tangan terbuka itu dengan bingung oleh pikirannya sendiri.
Claresta senang karena ini mungkin akan menjadi satu langkah awal yang akan memperbaiki hubungannya dengan Delaney. Jika cintanya tak bisa kembali, setidaknya temannya telah kembali.
Claresta menarik kembali tangannya yang tak lekas dijabat oleh Delaney. Tetap dengan senyuman dibibirnya, Claresta kembali duduk di sofa, kali ini ia mengambil tempat di samping Delaney.
"Aku mencintainya Del, aku juga pernah akan kehilangannya." Claresta ingat bagaimana saat-saat Delaney dengan bahagia bercerita tentang hubungannya dengan Aldrich dan Claresta menanggapi seolah-olah tak mengenal lelaki itu. Claresta juga ingat bagaimana Delaney bercerita akan kabur dengan Aldrich dan mungkin saja akan membangun keluarga baru lalu meninggalkan Claresta dengan cinta terpendamnya untuk selama-lamanya.
Claresta tersenyum, "Aku pernah begitu keras memperjuangkannya Del. Walaupun aku sempat menahan egoku untuk sesaat agar merelakan kalian berdua untuk pergi bersama, mendorong diriku sendiri untuk berhenti mencintainya, dan mencoba sekeras mungkin agar tidak merindukannya."
"Kamu mungkin tak mengerti bagaimana kerasnya aku waktu itu untuk mencoba merelakan jika cintaku akan hilang." Claresta menggelengkan kepalanya tanpa sadar. "Tapi akhirnya takdir menemukanku kembali dengannya. Tepat di bandara, tiga jam sebelum pernikahanmu, dengan membawa pesan untuknya yang belum pernah kusampaikan hingga hari ini kita bertemu."
"Lalu di saat itu aku tiba-tiba mengambil keputusan untuk pergi bersamanya. Setelah aku berusaha keras untuk menolak, aku tak dapat mengingkari cintaku sendiri."
"Aku menyimpan rapat-rapat rahasia siapa aku sebenarnya, juga mengambil konsekuensi kehilangan persahabatan kita." kali ini entah kenapa hati Delaney bergetar mendengarnya, sesuatu yang hangat melingkupi relung hatinya.
"Aku mencintainya Del, aku..aku.." kata Claresta terbata-bata.
"Kamu memperjuangkan cintamu sebesar itu dengan mengorbankan hubungan kita Clar." lanjut Delaney mengambil alih penjelasan Claresta yang sempat terputus. Lelehan air mata terlihat menggenangi pelupuk matanya. Sambil mengangguk Delaney berkata, "Aku bahkan belum pernah memperjuangkan cinta sebelumnya."
Claresta mengangguk membenarkan, walaupun ia sadar Delaney menahan tangisnya tapi ia merasa saat ini adalah saat tepat untuk menjelaskan pada Delaney. "Kemudian kamu datang, sesuatu yang aku takutkan akan terjadi lalu terjadi begitu saja.
Malam di mana Aldrich mengetahui kebenarannya adalah malam di mana aku menyadari bahwa aku benar-benar kehilangan segalanya. Melihat Aldrich yang memandangku tak suka telah melukai hatiku. Ditambah tatapan benci darimu semakin menyadarkanku, mungkin ini hukuman untukku."Claresta menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan, entah kenapa untuk mengatakan ini terasa sangat berat sekali, "Mungkin ini juga bentuk semesta menyadarkanku bahwa memang..memang Aldrich adalah jodohmu."
"Jadi karena itu kamu berhenti memperjuangkannya?" tanya Delaney terdengar seakan meremehkan.
"Apa maksudmu hanya karena itu, Del? Itu jelas-jelas bukan sesuatu hal yang sepele." bantah Claresta tak setuju.
"Hanya karena menganggap cintamu adalah jodoh orang lain begitu?" tanya Delaney sekali lagi.
Claresta mengangguk, dan Delaney balas mendengus. "Kalian berdua bodoh."
"Hah?" seru Claresta spontan. "Siapa maksudmu kalian berdua?"
"Daniel." tanpa basa-basi akhirnya Delaney mengatakan, "Daniel meninggalkanku, dia mengatakan telah berhenti memperjuangkanku Clar. Dia mengaku aku adalah cintanya, tapi kenapa dia menyerah?" cerosos Delaney dengan kekesalan yang telah membumbung tinggi menutupi hatinya.
"Daniel pasti juga mengira aku bukan jodohnya." Delaney berkata sekali lagi. Claresta segera memutar otaknya lebih cepat untuk mendapatkan sebuah kesimpulan, "Dan akhirnya sekarang kamu menyesal?"
Delaney terdiam, diambilnya segelas minuman di atas meja dan meneguknya cepat. "Jangan salah paham Del, bisa jadi aku dan Daniel punya pemikiran yang berbeda."
"Bukan hanya aku menganggap cintaku bukan jodohku, di sisi lain aku juga mengerti mungkin selama ini aku gagal dalam membahagiakan orang yang aku cintai, sehingga melihat dia bahagia dengan lain mungkin adalah suatu jalan yang lebih baik." perkataan Claresta kali ini semakin menguatkan opini Delaney.
"Cinta adalah sebuah pengorbanan Del. Entah apa yang harus kamu korbankan, bisa harta, hubungan keluarga, bahkan kehilangan cintamu itu sendiri."
"Kamu benar Clar. Dia juga sempat mengatakan hal yang sama." jawab Delaney lesu sambil membayangkan malam terakhir kali ia bertemu dengan Daniel.
Claresta yang mendengar nada bicara Delaney yang terdengar pasrah dengan segera bangkit berdiri dan mendekat ke arah Delaney, lalu tiba-tiba Claresta memeluk wanita di depannya dengan penuh ketulusan. "Jika kamu ingin mencaciku karena telah berani memelukmu, silahkan saja Del. Aku akan menerimanya. Tapi untuk saat ini biarkan seperti ini dulu. Aku tahu kamu membutuhkannya."
Delaney yang terkejut dengan pelukan hangat yang dirindukannya ikut tersenyum tanpa sadar. Setelah sekuat tenaga meyakinkan dirinya bahwa menemui Claresta adalah hal yang benar, akhirnya dia membalas pelukan Claresta.
"Nanti ingatkan aku untuk mencacimu, Clar."
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL MASK
RomanceCan you see a beautiful lie? * I'm happy for you.. Kebahagiaan adalah hak semua orang, termasuk Claresta. Sayangnya beberapa pilihan bodoh telah membutakan matanya.