Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, yang artinya tak terasa ini sudah satu jam sejak berakhirnya acara pagelaran busananya tetapi Claresta tetap berdiri dengan senyum paling lebar yang dapat ia tunjukkan untuk melepas kepergian para tamu yang sudah datang.
Tak terhitung lagi berapa kali ia melakukan salaman yang kemudian dilanjutkan sesi cipika - cipiki dengan para tamu yang kebanyakan berasal dari golongan para desainer, model dan artis.
"Terima kasih sudah datang sekali lagi." Katanya sambil melambaikan tangan. Kerin menghampirinya tak lama kemudian dan membantunya mengambil beberapa buket bunga yang berada dipelukan Claresta.
"Lelah?" tanya Kerin yang dibalas anggukan cepat oleh Claresta.
"Lihat Sammy?" tanya Claresta pada Kerin.
"Sammy di belakang, haus katanya."
"Jangan jatuh cinta dengan Sammy." kata Claresta sambil menggandeng Kerin ke arah belakang. "Dia terlalu menyebalkan untuk ukuran seorang kakak."
Kerin tertawa, "Aku melihat dia begitu menghayati saat memelukmu tadi. Kukira, dia cocok menjadi seorang aktor." dan tawa Claresta pun ikut menguar begitu saja.
Claresta menjatuhkan pandangannya ke arah seorang lelaki yang sangat ia kenali dan sangat ia rindukan sedang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Dia datang.
"Aku dan Sammy akan menunggu di belakang, jangan lupa jam 12 kita harus segera pergi." Kata Kerin memperingatkan.
Claresta mengangguk, "Aku akan menyelesaikannya dengan cepat."
Kerin berlalu sebelum menundukkan kepalanya kepada Aldrich. Berlalunya Kerin disambut dengan mendekatnya Claresta ke arah Aldrich.
Ada kecanggungan diantara keduanya untuk siapa yang akan memulai terlebih dahulu.
Di satu sisi, Claresta hanya bisa menundukkan kepalanya, dan membiarkan pandangannya hanya cukup puas untuk memandang sepasang sepatu dan celana kain berwarna biru tua yang dipakai Aldrich malam ini. Antara rasa takut untuk bertemu lagi dengan Aldrich dan rasa lain yang membuatnya ingin segera berlari memeluk Aldrich. Entah, perasaannya begitu kalut hingga membuat Claresta hanya dapat tertunduk karena tak dapat mengartikan perasaannya sendiri.
Di sisi lain, berbeda dengan Aldrich yang memilih untuk menatap tajam Claresta yang menundukkan pandangannya. Kerinduan terpancar jelas dari kedua matanya ketika menatap Claresta saat ini. Saat berhadapan dengan wanita itu kali ini, Aldrich merasa dunia disekitarnya kosong. Seolah hanya ada dirinya, Claresta, dan sisanya hanya sebuah ruangan putih besar yang mengurung mereka berdua.
Aldrich merindukannya, tak peduli beberapa minggu kemarin dia berusaha membuat dirinya sesibuk mungkin untuk mengurangi rasa pedulinya terhadap apa yang sedang Claresta lakukan saat mereka berjauhan. Entah sudah berapa kali kata - kata yang memotivasi bahwa ia dapat hidup tanpa Claresta yang berhasil ia tanamkan sejak beberapa hari yang lalu mendadak melebur begitu saja ketika ia lihat dari dekat kantung mata yang dimiliki Claresta dan tubuh yang semakin mengurus ini berdiri di hadapannya.
Ternyata benar, tidak boleh hukumnya membenci seseorang karena secara tidak langsung hal itu akan membuat hati dan pikiran kita selalu mengarah kepadanya.
Berdiri di depan Claresta saat ini harusnya bisa menjadi sangat cepat jika ia dapat mengatakan maksud dan tujuannya yang telah membuatnya menunggu selama satu jam lamanya karena antrian panjang para tamu untuk dapat berbincang dengan Claresta.
Tapi tiba - tiba Aldrich melupakan apa yang akan ia katakan.
Bukan, bukan karena rasa rindunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL MASK
RomanceCan you see a beautiful lie? * I'm happy for you.. Kebahagiaan adalah hak semua orang, termasuk Claresta. Sayangnya beberapa pilihan bodoh telah membutakan matanya.