part 39

2.2K 197 7
                                    

"Daniel yang mana?" tanpa sadar Aldrich mengacak rambutnya, terlihat frustasi.

"Sayang sekali. Aku tak tahu nama lengkapnya, yang ku tahu dia adalah pengusaha di Paris." jawab Kerin.

Aldrich tidak menjawab, dia mengeluarkan ponselnya. Setelah sibuk menekuri ponselnya dan mengabaikan Kerin untuk beberapa saat akhirnya dia bertanya, "Kamu sempat bertemu dengannya?" 

Kerin mengangguk sebagai jawaban. Aldrich mengangsurkan ponselnya ke hadapan Kerin. "Lihatlah baik-baik, yang mana lelaki itu?"

Dengan seksama Kerin memperhatikan tiap gambar seorang lelaki yang Kerin ketahui di dapat Aldrich dari pencarian di  Google. Kerin dapat menemukan Daniel yang ia maksud dengan cepat, hal itu dikarenakan telah beberapa kali mereka bertemu. "Aku yakin dia." Seru Kerin sambil menunjuk foto seorang lelaki rupawan yang sangat rapi dan sedang tersenyum ke arah kamera. Daniel Ethan. Aldrich membaca sedikit keterangan yang menyertai foto itu.

"Aku ingin alamat Claresta di Bali. Bisa kamu memberikannya Kerin?" pinta Aldrich yang lebih terdengar sebagai perintah.

Kerin dihadapannya mengangguk patuh, "Akan aku kirim di e-mailmu. Jika memang sudah selesai, aku ingin pamit. Maaf Al, aku masih ada urusan." pinta Kerin sopan.

Aldrich menangguk, tanpa menunggu waktu yang lama Kerin bangkit dan berlalu pergi. Aldrich mengetikkan nama Daniel Ethan pada kolom pencariannya. Setelah melihat beberapa artikel yang berhubungan dengan lelaki bernama Daniel ini, matanya menemukan sebuah judul yang membuatnya terkejut sesaat. Pernikahan megah Daniel Ethan dan Delaney Evaleen, tak perlu membaca kelanjutan berita itu, Aldrich mungkin sudah cukup mengerti.
  
  
  
*

"Am I weird?" tanya Delaney.

Claresta memandang Delaney sesaat lalu menggeleng, "Enggak." kata Claresta terdengar kelewat santai.

"Dengan pakaian gini orang-orang ga akan ada yang ngenalin kamu Del. Seriusan deh." Claresta mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf v.

Delaney memandang dirinya sendiri tak percaya. Piyama bergambar panda berwarna hitam dan putih ia kenakan dengan terpaksa. "Trus kenapa harus ke sini?" tanya Delaney lagi.

"Menjadi normal. That's what you need." kata Claresta. "Iya kan?"

Delaney membetulkan lagi letak kaca mata hitamnya supaya lebih tertutup sehingga orang-orang tak mengenalinya. Walaupun model yang berasal dari Paris, nama Delaney telah besar dan sering berjalan di run away kelas dunia. Bahkan namanya sudah pantas disandingkan dengan model-model internasional sekelas Barbara Palvin, Gigi Hadid dan Kendall Jenner. Bahkan tahun lalu Delaney termasuk ke dalam jajaran 30 Model paling Mendunia. Dan jangan tanya tentang akun sosial medianya, followersnya yang mencapai jutaan tak menutup kemungkinan berada di sekelilingnya saat ini.

"Del, ayo." Claresta tahu-tahu telah berjalan menuntunnya.

"Clar, tunggu dulu." Delaney menghentikan langkahnya di depan toko es krim.

"Oh kamu mau membeli es krim?" tanya Claresta polos.

"Aku menemuimu untuk bercerita, kenapa sekarang jadi jalan-jalan?" tanya Delaney tak menjawab pertanyaan Claresta.

Claresta mengangkat bahunya, "Kamu meminta pendapatku kan? Sebagai gantinya, aku memintamu menemani berjalan-jalan, bagaimana?"

Walaupun bukan usul yang bagus tapi Delaney tetap mengangguk, ragu. "Setelah ini aku bisa puas bercerita?" tawar Delaney.

"Setelah aku puas berkeliling." Claresta menyalami tangan Delaney seperti mereka telah bersepakat atas pembelian aset berharga.

Mulanya Claresta mengajak Delaney masuk ke dalam toko aksesoris. Pandangannya tertuju pada sebuah ikat pinggang, topi, dan anting-anting besar yang sangat lucu-lucu bentuknya. Claresta memutuskan untuk membeli beberapa,lumayan untuk stok persediaan aksesoris yang dapat ia padu padankan dengan pakaiannya. Tetap stylish adalah tuntutan menjadi seorang designer agar meningkatkan kredibilitas kepada pelanggannya.

Mereka berdua keluar dari toko aksesoris dan melanjutkan ke kedai es krim terdekat untuk mendapatkan satu es krim vanilla untuk Claresta dan es krim cherry untuk Delaney.

Setelah puas berkeliling, berbelanja dan juga mengambil beberapa foto di spot-spot yang menarik, Claresta yakin Delaney sudah tak terlalu tegang dan seserius tadi pagi.

"Cantik." tiba-tiba Delaney berseru senang dengan tetap memandang jauh ke depan.

Claresta mengikuti arah pandang Delaney dan mengangguk mengamini. Perpaduan dari matahari yang mulai tenggelam dan rona senja di ujung laut yang jauh di sana adalah sebuah keindahan tiada tara. Semua orang, baik dari belahan dunia manapun, pasti akan setuju.

"Bali benar-benar indah ya Clar."

"My home." ujar Claresta bangga.

"Kalau Aldrich kembali padamu, apa kamu menerimanya?" tanya Delaney. Ditatapnya wajah Claresta sungguh-sungguh, dengan perlahan, dilihatnya Claresta mengangguk.

"Maaf karena mungkin jawabanku menyakitimu, Del. Aku hanya tidak ingin berbohong. Sungguh." Kata Claresta. Dia dapat menangkap maksud lain sari pertanyaan Delaney kali ini, karena jelas hubungannya dengan mantan kekasihnya bukan suatu hal yang akan memusingkan Delaney saat ini.

"Jangan berbohong Del. Jika memang kamu cinta katakan cinta, jika memang tak ingin pergi ya bertahanlah di sampingnya, jika kamu sudah tak mampu lagi maka berhentilah. Jangan memaksakan. Beberapa orang lebih senang merasa baik-baik saja dan merasa dirinya sangat kuat. Mengatakan masih mampu padahal sudah tak ada harapan lagi, akhirnya ia memaksakan untuk terus berjalan dan mengabaikan kenyataan untuk berhenti. Ada juga orang yang merasa masih sangat cinta tetapi karena emosinya semata dia menutup mata dan memutuskan untuk pergi adalah hal yang terbaik untuknya. Setiap hal memiliki resiko, termasuk memilih untuk bertahan atau pergi. Dan apa gunanya karena telah membohongi diri sendiri?"

"Tetapi tunggu dulu," kata Delaney menyela, "Mungkin ada beberapa orang yang masih cinta akhirnya memutuskan berhenti karena pasangannya sudah tak cinta lagi."

Claresta tersenyum, "kalau itu bisa jadi berbeda Del. Bukan orang yang masih cinta yang meninggalkan. Dia yang ditinggalkan. Bukan dia yang memilih untuk pergi. Tetapi pasangannya sedang mencoba untuk jujur kepada dirinya sendiri, sehingga memilih pilihan untuk pergi. Apa kamu mengerti?" jelas Claresta.

"Jadi walaupun kita telah jujur pada diri sendiri, belum tentu orang lain memiliki perasaan yang sama?"

Claresta mengangguk, "Benar Del. Orang lain pun memiliki hak untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Bisa jadi perasaannya berbeda dengan yang kita miliki. Itu kenapa cinta dan perasaan tidak bisa dipaksakan."

"Sangat rumit." desis Delaney tetapi masih terdengar jelas untuk Claresta. "Kenapa tidak aku cinta kamu, kamu juga mencintaiku sudah selesai kita bersama?"

"Jika mudah mungkin tidak akan pernah ada patah hati."

"Aku tidak mau patah hati Clar."

"Menurutmu aku mau? Tidak akan ada yang siap untuk itu."

"Bisakah kita kembali pada pembahasan tadi," kata Delaney tiba-tiba. "Untuk apa jujur jika akhirnya pun bisa saja kita tersakiti."

"Jujur kan untuk dirimu sendiri. Semua orang punya peluang untuk menyakiti dirimu. Jadi jangan menambah luka itu dengan cara menyakiti dirimu sendiri, Del. Tidak akan ada untungnya, bukan?"

BEAUTIFUL MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang