Claresta masih fokus melihat sebuah gambar yang merupakan surat gugatan percerian yang ada di ponsel Delaney.
"Dan itulah hasil egoku, aku lebih menuruti emosiku sendiri, dendamku sendiri, sampai aku lupa pada perasaanku." Delaney telah menceritakan semuanya siang ini. Bagaimana akhirnya dia menikah dengan Daniel, bagaimana keadaan rumah tangganya yang sangat jauh dari kata harmonis, dan bagaimana dia bertemu lagi dengan Daniel di Jakarta hingga akhirnya lelaki itu memutuskan untuk melepasnya.
"Baguslah kamu masih menyadarinya Del." kata Claresta, sepintas ia ingat sesuatu. "Del aku mau mengaku,"
Delaney menaikkan sebelah alisnya tanda bingung.
"Aku bertemu dengan Daniel saat persiapan pembukaan karya terbaruku waktu itu. Dia datang ke butikku dan meminta bantuanku untuk mempertemukannya denganmu,"
"Jadi?" Delaney dengan cepat memotong ucapan Claresta.
"Bukan.. Dengarkan aku dulu." Kata Claresta meminta perhatian Delaney lagi. "Aku menolak membantunya, apalagi waktu itu kondisi kita berdua sedang tidak baik. Aku hanya memberikannya undangan launching itu, Daniel yang akhirnya memutuskan untuk menemui sendiri."
"Aku pergi jauh-jauh ke sini untuk mengejar cintaku, mencari sesuatu yang aku sebut ia cinta. Tetapi ternyata," mata Delaney menerawang jauh memikirkan Daniel yang sekarang memenuhi pikirannya.
"Ternyata bukan cinta ini yang kamu cari?" kata Claresta tiba-tiba. Delaney dengan perlahan mengangguk sebagai jawaban.
"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali Del."
"Maksudmu?"
"Apa kamu tidak ingin kembali?"
Kembali? Untuk apa? Batin Delaney bertanya pada dirinya sendiri.
*
Sore ini setelah menyelesaikan kegiatan rapatnya, Aldrich segera melajukan mobilnya ke arah pusat perbelanjaan karena perintah untuk menjemput ibunya. Sesampainya di depan rumah makan Indonesia yang ada di tempat itu, Aldrich berhenti sebelum ia menyapa ibunya.Dengan cepat, Aldrich berbalik untuk mengejar seorang perempuan yang tadi sempat ia lihat sepintas.
"Aw." entah karena terkejut atau digenggam terlalu erat, Kerin memekik. "Al." desisnya perlahan.
"Terima kasih Tuhan aku tidak salah orang." kata Aldrich bersyukur dan menghela napas lega.
"Ada apa?"
"Punya banyak waktu?" Aldrich balik bertanya pada Kerin.
Kerin mengangguk sambil tersenyun kecil. Setelahnya mereka berdua memutuskan untuk duduk di salah satu kedai minuman dengan bubble milk tea sebagai andalannya.
"Aku tahu Claresta ada di Bali." adalah penjelasan pertama dari Aldrich. Lalu Kerin di depannya terlihat menghembuskan napas pelan tapi tak luput dari pandangan Aldrich, Kerin gugup.
"Aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu acara kemarin. Aku hanya ingin bertanya, apa tak ada pesan terakhir untukku sebelum Claresta pergi?" tanya Aldrich tampak tak sabar.
Kerin menggeleng sebagai jawaban yang akhirnya menimbulkan kekecewaan pada Aldrich.
"Claresta menjadi sangat diam di hari-hari terakhir sebelum ia memutuskan untuk cuti, Al. Saat itu aku tahu bahwa ada sesuatu yang salah darinya, dan ternyata hal itu karena perasaannya."
"Claresta sering melamun, menangis, bahkan lembur tanpa alasan di butik walau aku telah memintanya pulang. Perasaannya sangat kacau, tetapi dari luar orang lain tetap melihat Claresta yang sangat profesional dalam setiap kesibukannya. Claresta tak mungkin mengatakan kepada semua orang bahwa mungkin hatinya terluka, kan?"
Aldrich mengaitkan jemarinya. Bodoh. Umpatnya sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan sifat Claresta yang ini? Claresta tak mungkin menceritakan rasa sakitnya pada siapapun termasuk Kerin.
"Al," Kerin menggerakkan tangan Aldrich. "Aku tidak tahu apa informasi ini akan membantu atau mungkin sebaliknya, tapi yang aku tahu ada seseorang lelaki bernama Daniel yang sering datang ke butik dan selalu menyebut nama kekasihmu, Delaney."
Aldrich mengerutkan keningnya, Daniel? Siapa lagi lelaki ini?
*Selesai menggunakan hair dryer dan memastikan rambutnya sempurna, Delaney keluar dari kamar mandi di hotel milik Billy ini. Sore ini, selepas kepulangannya dari rumah Claresta, Delaney enggan untuk keluar lagi dari kamar hotel. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk berdiam diri dan memikirkan kembali apa yang sebenarnya ia rasakan.
Menyesalkah ia sekarang? Ah.. Menyesal bukankah suatu pernyataan bodoh yang selama ini Delaney hindari? Kenapa sekarang ia meletakkan kata Menyesal di belakang namanya?
Demi Tuhan, tak pernah Delaney kira semua akan menjadi sebegini rumitnya.
Kenapa Tuhan menciptakan cinta lengkap dengan segala permasalahan yang mengelilinya? Tak dapatkah ia merasakan cinta jika memang cinta dan pergi bila telah bosan? Praktis, tak perlu pusing-pusing seperti ini.
Delaney bukanlah seorang wanita bodoh yang tidak mengerti barang secuilpun ilmu pengetahuan, dia paham beberapa. Hanya saja untuk cinta, seperti yang kalian tahu, dia merasa tak mengerti apapun.
Perasaan Delaney seolah mempermainkan dirinya sendiri. Awalnya dengan semangat membara dia memutuskan untuk pergi ke Indonesia, jauh-jauh meninggalkan negara dan suami sahnya di mata hukum dan agama, bertekad mencari seseorang yang ia labeli cinta sejatinya. Saat ia telah mendapatkan lelaki yang dimaksud, suaminya datang menjemput dan mengatakan cinta. Hatinya seolah berdebar tak karuan melihat suaminya yang perlahan menghilang dari pandangannya, seakan tak rela dia menangis meraung semalam penuh.
Delaney kebingungan, hingga saat ini pun tak kunjung ia temukan juga jawaban dari hatinya. Namun perbincangan dengan Claresta siang ini sedikit membuatnya mengerti.
Ponsel Delaney bergetar dan dengan gusar ia mengambil ponselnya. Melihat nama Aldrich sebagai pengirim pesan membuatnya sedikit bertanya, tak biasanya Aldrich menanyakan kabarnya. Setelah membaca sebaris pesan yang kelewat singkat itu membuatnya dilanda pening.
Aldrich Morloon: Apa Daniel mantan suamimu?
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL MASK
RomanceCan you see a beautiful lie? * I'm happy for you.. Kebahagiaan adalah hak semua orang, termasuk Claresta. Sayangnya beberapa pilihan bodoh telah membutakan matanya.