Summer after high school when we first met
We make up in your Mustang to Radiohead
And on my 18th Birthday
We got matching tattoos
Bukan, bukan pertama kali kita bertemu. Tapi liburan musim panas kali ini adalah dimana mataku pertama kali menemukanmu.
Kulihat kau nampak asyik bercanda dengan teman-temanmu sebelum akhirnya kau memilih bangkit mundur dan duduk di salah satu bangku panjang yang kosong ditemani buku dan headset di telingamu.
Namamu sudah kerap kali kudengar. Entah bagaimana caranya, sekedar namamu saja dapat membuatku tertarik untuk mencari bagaimana sosok asli dirimu agar aku dapat keluar dari bayang-bayang semu yang kuproyeksikan di kepalaku sendiri.
Aku terbiasa berkhayal, sama seperti arti nama Farren yang disematkan ibu di akhir namaku.
Hingga hari-hari selanjutnya aku hanya dapat melamun dan mengintipmu dari jendela. Memfokuskan kedua indera penglihatanku untuk mengetahui apa yang sedang kau lakukan. Tak jarang aku melihatmu berjalan dengan beberapa gadis cantik keturunan Eropa dengan tawa yang sesekali kau tunjukkan lewat barisan gigi rapimu.
Kau begitu tampan hingga membuatku takut. Takut karena mungkin aku hanya sebagian titik kecil yang mengagumimu.
Aku bukanlah gadis-gadis Eropa yang sangat cantik karena rambut pirangnya. Aku hanya seorang gadis dari tanah Indonesia yang kebetulan terdampar di sebuah kota mode terkenal sejagat raya ini.
Aku masih ingat, sekitar satu bulan sejak hari dimana aku menemukanmu dan mengintip malu-malu, teman sekamarku-stevie, mengajakku pergi ke toko buku yang berada di seberang jalan.
Aku tak tau apa Tuhan memang sedang memberi hari terbaik untukku karena sekarang aku dapat melihatmu berada di jejeran buku-buku tentang pasar modal yang sangat tebal dan sangat membosankan bagiku.
Kau hanya membaca dan cara membacamu yang begitu indah membuatku secara tidak sadar berjalan ke arahmu.
Bodohnya aku yang saat itu memilih untuk mengambil salah satu buku resep makanan yang ada di deretan depan buku yang kau pilih. Membuatku harus memunggimu.
Bukan, ralat! Kita saling memunggungi sekarang.
Jantungku berdegup kencang walau tak ada satu bagianpun dari punggungku yang bersentuhan dengan punggungmu. Aku bahkan tak berani menoleh sedikitpun ke arahmu karena jujur mungkin ini pertama kalinya aku jatuh cinta.
Tunggu, bolehkah aku berkata jatuh cinta? Maksudku, aku hanya mengenal namamu sedari dulu dan baru melihatmu dari jauh sekitar satu bulan yang lalu. Jadi.. Kau harus paham dengan gadis polos yang baru pertama kali merasakan cinta ini.
Aku mendengar suara ponsel berbunyi dan berikutnya terdengar suara beratmu menjawab panggilan dari ponsel yang ternyata milikmu itu.
Jadi beginikah suara aslimu?
Kenapa aku jadi semakin gila? Sekarang visualisasi dirimu dalam otakku sudah mendekati nyata. Ya Tuhan.. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini.
Kudengar baik-baik apa yang kau katakan pada si penelpon yang entah kenapa membuatku bertanya-tanya apakah seorang perempuan cantik yang meneleponmu?
Hingga akhirnya kau menyebutkan alamat email pada si penelepon karena kau memintanya untuk mengirimkan hasil tugas via email.
Segera kucatat dengan baik dalam otakku dan mengulangnya dalam hati tanpa henti.
Karena bahagia yang sudah tak dapat kutahan aku menutup buku resepku dan menghampiri Stevie. Memohon maaf padanya karena aku harus pulang lebih dulu dengan alasan yang kubuat-buat. Untung sewaktu itu dia percaya dan membiarkanku pulang.
Saat sampai di kamar aku bergegas menghampiri laptopku dan membuka email dengan cepat. Lalu dengan cekatan aku memencet beberapa huruf agar membentuk alamat emailmu.
aldrichmorloon22@gmail.com
*****
Claresta mengambar lagi beberapa sket yang memang sudah mengendap di otaknya dan harus segera jadi gambarannya sebelum akhir bulan.
Seharusnya pekerjaannya ini bukan sejenis shooting kejar tayang yang membuatnya selalu dikejar oleh waktu dalam menyelesaikannya.
Sebagai seorang desaigner, menggambar adalah hobi paling murah yang dapat ia lakukan kapanpun dan dimanapun.
Yang diperlukan adalah mood yang baik, ide cemerlang, pensil dan juga kertas.
Tapi sekarang Claresta menyadari bahwa hal paling susah ia temui adalah waktu luang.
Jadwal yang padat setiap harinya membuatnya tidak dapat menikmati waktu tenang barang dua jam. Selalu saja ada yang mengganggunya.
Termasuk benda pipih berbentuk persegi panjang yang terus berbunyi mengganggu ketenangannya ini.
Sama seperti sekarang, benda yang dibelakangnya ada lambang bergambar buah apel yang tergigit sebagian menampakkan layar yang menyala.
Claresta mendengus, siapa lagi yang mengganggunya kali ini? Padahal baru setengah jam yang lalu ia mulai berkreasi dengan pensil dan kertas di tangannya.
Claresta segera mengambil ponsel yang ada di atas meja. Memposisikan kembali tubuhnya membaca pesan yang masuk.
Terlihat tampilan sebuah pesan masuk dari nama kontak yang selalu ditunggunya setiap saat. Dengan semangat penuh ia memencet sesuatu di ponselnya untuk melihat pesan lebih lengkap.
Aldrich Morloon: Makan malam jam 6? Aku jemput Clar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL MASK
RomanceCan you see a beautiful lie? * I'm happy for you.. Kebahagiaan adalah hak semua orang, termasuk Claresta. Sayangnya beberapa pilihan bodoh telah membutakan matanya.