Delaney mengeratkan genggaman tangannya tanpa sadar ketika pintu hitam itu terlihat semakin dekat. Daniel yang turut merasakan kegugupan itu mendekatkan bibirnya ke telinga Delaney, "Calm down Del. Mereka sangat merindukanmu."
Delaney tersenyum sekilas dan mengangguk kemudian. Dalam hatinya dia mulai berhitung kapan terakhir kali dia datang ke rumah ini, mungkin sudah lebih dari delapan bulan entahlah Delaney bahkan tak dapat mengingatnya dengan jelas.
Daniel yang pertama memencet bel rumah dengan santai. Seolah itu adalah hal biasa yang sering ia lakukan.
"Daniel.." Pekik Jenice senang ketika dia membuka pintu rumahnya. Menantu kesayangannya telah datang. Saat akan menyambut Daniel dengan pelukan hangat seperti yang biasa ia lakukan, Jenice tersadar ada seorang lain yang berdiri dengan jarak cukup jauh dibelakang Daniel.
"Delaney.." Desis Jenice dengan rasa terkejut yang luar biasa. Sedangkan Delaney, dia belum bersiap harus memberikan kata sambutan apa yang cocok untuk situasi ini. Salahkan Daniel yang mengajaknya tanpa mengatakan apapun setelah makan siang tadi.
"Delaney.." Jenice mendekat selangkah demi selangkah ke arah anak perempuan semata wayangnya. Daniel sengaja memberikan jarak yang cukup untuk mereka ibu dan anak itu. Daniel tersenyum senang karena rencananya telah berhasil.
"Del.." Belum sempat Jenice menyelesaikan ucapannya, Delaney langsung memeluk ibunya terlebih dulu. Air mata Delaney yang pertama kali menyambut pertemuan mereka.
Jenice yang ikut merasakan keharuan itu juga melepaskan tangisnya. Dipeluk dan dikecupnya anak perempuan yang sangat ia rindukan, seolah mengatakan maaf atas semua kesalahan dan keegoisan yang pernah ia lakukan hingga membuat Delaney pergi meninggalkannya.
"Mama, Delaney." Panggil Daniel setelah cukup lama membiarkan momen itu terjadi beberapa menit. Jenice dan Delaney melepaskan pelukan mereka.
"Bisa kita masuk dulu? Papa pasti lebih senang juga jika dia bisa bergabung bersama kalian." Kata Daniel mengingatkan. Momen bahagia mereka kali ini harus terasa lengkap.
Jenice mengangguk menyetujui dan menggiring anak dan menantunya masuk.
Setiap detail dalam rumah ini belum banyak berubah sejak terakhir kali dia tinggalkan. Delaney tersenyum melihat foto pernikahannya dengan Daniel yang tetap berada di atas salah satu lemari kaca di ruang keluarganya. Delaney mendekat ke arah suaminya, dipeluknya lelaki itu dan selanjutnya ia ucapkan terima kasih tanpa suara.
Jenice yang sempat izin untuk menjemput suaminya di kamar akhirnya kembali. Namun, sesuatu mengusik hati kecil Delaney. Air matanya jatuh kala melihat tubuh ayahnya berada di kursi roda yang didorong oleh ibunya. Wajah terkejut ayahnya serta lambaian tangan lelaki tua itu menjadi sebuah permintaan bagi Delaney.
Tuhan.. Batin Delaney meronta. Delaney melangkah mendekat dan merendahkan tubuhnya. Dengan bibir bergetar menahan isak, Delaney memeluk tubuh ayahnya.
"Sorry.." Kata Delaney di tengah isaknya.
Ayah Delaney menepuk-nepuk pundak Delaney dengan lembut. "Sorry.." Balas ayahnya yang juga turut merasa bersalah.
Delaney menggeleng, dia merasa sangat bersalah atas semua kekacauan yang terjadi, atas semua tindakan kekanakannya yang membuatnya meninggalkan setiap momen penting yang harusnya ia rasakan langsung.
Daniel mendekat dan ikut menguatkan Delaney di belakangnya. Saat mendongak dan menatap Daniel, ibunya dan ayahnya bergantian, Delaney semakin merasa sempurna. Dia telah memiliki lebih banyak cinta daripada yang selama ini ia cari.
*"Jadi sebenarnya, kamu ini kekasih Delaney atau anakku?" Tanya ibu Claresta dengan lembut. Walaupun ibu Claresta tetap memamerkan senyumnya, namun tetap saja kengerian dari pertanyaan itu mampu mengusik hati Aldrich.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL MASK
RomanceCan you see a beautiful lie? * I'm happy for you.. Kebahagiaan adalah hak semua orang, termasuk Claresta. Sayangnya beberapa pilihan bodoh telah membutakan matanya.