Delaney tersenyum riang dan meneguk cairan berwarna ungu yang berada di gelasnya.
"Hai." sapa Delaney sekali lagi khusus pada Claresta. "Baru tadi pagi kita bertemu."
"Kamu," Claresta mengabaikan sapaan Delaney dan berganti menoleh pada Aldrich yang masih memandangnya dengan dingin. "Kamu mengundangnya?"
Aldrich dengan angkuh mengangguk. Claresta menatap ke dalam mata Aldrich dan terkejut mengetahui jika rasa benci mulai menyelimuti setiap sudut mata pria itu.
"Kamu," lagi - lagi Claresta terdiam sebelum mengatakannya. "Kamu sudah mengetahui—"
"Ya!" Aldrich dengan percaya diri memotong ucapan Claresta, "Aku mengetahui beberapa, tapi belum semua karena kau belum mengatakannya."
Hati Claresta terluka saat mengetahui Aldrich menatapnya jijik kali ini. Entah seberapa besar rasa benci dan jijik yang berada di hati lelaki itu. Yang jelas bukan cinta, dan bukan kasih sayang lagi uang ditunjukkan pada Claresta.
"Al, aku, aku mencintaimu." Dengan terbata - bata Claresta mengatakannya. dari sudut matanya, muncullah lelehan bening air mata yang jatuh mengalir membasahi pipinya.
"Kau tidak mencintaiku, Clar." Claresta menggeleng mendengar ucapan Aldrich.
"Aku—"
"Jika memang mencintaiku, kenapa kau menyimpan kebohongan besar seperti itu? Apa alasanmu? Agar terlihat menang dari Delaney?" gelengan Claresta lebih cepat dari sebelumnya.
"Aku bersumpah Al," Claresta mengangkat kedua tangannya. "Aku tak pernah menjadikan dirimu sebagai suatu penghargaan atas kemenangan." ucap Claresta bersungguh - sungguh.
"Aku mengenalmu sejak lama. Aku tidak merencanakan apapun. Aku tidak berniat membohongimu. Aku sangat ingin hidup bersamamu."
"Cukup! Cukup!!" Delaney menyela perkataan Claresta, "Sudah cukup sering aku bertemu denganmu, tapi kamu tak mengatakan apapun soal kejadian itu padaku. Apa maksudmu sekarang? Jelaskan kepada kami."
Claresta tak mampu harus menerima tatapan sengit dari kedua orang yang ia sayangi. Aldrich, lelaki terbaik yang ia impikan dan akan menjalin kehidupan baru dengannya. Delaney, sahabat terbaik yang selalu peduli kepadanya.
"Kamu membenciku." entah ucapan Claresta kali ini ia berikan kepada siapa. Yang jelas hatinya kecewa. Antara kecewa karena sekarang orang yang ia sayangi mulai menjauhi atau kecewa karena kesalahannya sendiri yang membuat orang yang ia sayangi bisa pergi.
"Katakan kepadaku Clar." pinta Aldrich, dalam hatinya ia berharap Claresta mau membuka mulut dan memberikan pengakuan yang berbeda dari apa yang dikatakan oleh Delaney tadi siang kepadanya. Dalam hati, mati - matian Aldrich meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih sangat menyayangi wanita ini.
Siang tadi, Aldrich dikejutkan dengan kedatangan Delaney ke kantornya. Wanita itu dengan tiba - tiba mengenalkan bahwa ia adalah teman Roxie, wanita itu tiba - tiba mengulurkan kartu namanya yang berbahasa Prancis.
Aldrich tidak terlalu terkejut, dia sudah memikirkannya sejak kemarin. Barisan nomor yang ada di kartu nama itu sama dengan nomor telepon seseorang yang ia cintai saat berada di Prancis.
Dan setelah itu mengalirlah cerita dari Delaney mengenai awal pertama dirinya mengirimi Aldrich pesan, hingga sampai pada cerita di hari pernikahan wanita itu.
Amarah mulai merasuki pikiran Aldrich saat Delaney menangis di depannya. Wanita itu mengatakan pernikahannya tak bahagia, wanita itu mengatakan terus menunggunya.
Sial, dirinyalah yang memberi harapan bebas bagi Delaney. Rasa bersalah dan iba menjalari hatinya. Seharusnya dia tak pernah menjanjikan apapun kepada seseorang yang baru dan belum terlalu di kenalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL MASK
RomanceCan you see a beautiful lie? * I'm happy for you.. Kebahagiaan adalah hak semua orang, termasuk Claresta. Sayangnya beberapa pilihan bodoh telah membutakan matanya.