Jasmine POV
Hari ini adalah hari dimana aku akan ke rumah sakit untuk mempersembahkan kemenangan kemarin kepada Gavin. Aku juga sudah janjian sama anak-anak basket buat ke sana karena katanya mereka juga menang dikejuaraan tim basket kemarin. Kalau Gavin tahu ia pasti senang. Karena ini adalah impiannya dari dulu. Gavin sangat menyukai basket. Makanya dari dulu ia berlatih mati-matian agar bisa jadi pemain basket. Terbukti dengan kerja kerasnya itu sudah banyak gelar yang ia berikan sejak SMP. Ia juga peraih gelar MVP sejak kelas 10. Kebayang gimana hancurnya dia sejak tahu dia tak kan bisa bermain basket lagi. Pasti ini sangat sulit baginya.
Maka dari itu, aku dan teman-teman dari tim basket akan ke rumah sakit. Mungkin saja Gavin akan sadar mandengar berita besar ini. Belum lagi ia sudah janji padaku kalau kita akan jadi saingan. Aku mau bilang kalau aku berhasil ngalahin dia. Walau aku tahu dia lebih hebat. Tapi tetap saja aku menang. Aku udah tidak sabar. Aku harus ngerayain ini sama Gavin. Aduh ... jasmine jangan mangis ... aku harus kuat ... ini berita bahagia. Jadi sekarang aku harus tersenyum demi Gavin.
Setelah menempuh setengah jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah sakit. Ternyata aku dan teman-teman Gavin datang dalam waktu bersamaan. Aku melihat mereka baru turun dari mobil. Aku melambaikan tangan ke arah mereka dan berjalan mendekati mereka. Kulihat mereka juga membawa piala sepertiku.
"Selamat! Kalian berhasil menang," ucapku setelah menghampiri mereka.
"Makasi. Selamat juga. Lo juga menang kan?" tanya Ronald yang juga membalas ucapanku. Kulihat dia datang bersama Davin dan Devan.
"Ia, tapi yang seharusnya menang itu Gavin." Aku menghela napas. Rasanya sesak di dadaku semakin terasa kalau mengingat hal ini.
"Udah gue tahu kalian berdua itu sama-sama hebat. Yang menang itu kalian berdua," kata Davin. Aku tahu dia berusaha menghiburku karena dia pasti tahu saat ini aku sedang sedih.
"Udah ... mending kita sekarang masuk. Kita jesini kan niatnya mau nyerahin piala ini ke Gavin." Devan menyela.
"Iya lo benar!" jawab kami bersamaan
Aku dan teman-teman akhirnya memasuki rumah sakit untuk menuju ruangan Gavin dirawat. Saat telah sampai di ruangan, aku disuruh masuk terlebih dahulu karena Gavin dirawat du ICU jadi kalau mau masuk harus gantian.
Begitu masuk, ruangan itu sudah kosong. Sudah tidak ada lagi orang di sana. Aku lalu keluar. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menangis. Kemana Gavin? Kenapa dia tidak ada di kamarnya? Sebenarnya ini ada apa?
"Lo kenapa?" tanya Devan yang sepertinya khawatir padaku.
"Gavin ...." suaraku bergetar. Rasanya aku tak sanggup mengatakannya.
"Gavin kenapa? Lo harus ngomong." Davin yang sepertinya sudah tidak sabar.
"Alah lama ...."
Tiba-tiba Davin pergi ke ruangan untuk melihat apa yang terjadi. Setelah itu ia keluar lagi dengan wajah tak kalah paniknya.
"Gavin ga' ada."
Semua orang yang ada di ruangan terkejut. Tak menyangka dengan apa yang terjadi. Lalu setelah itu kulihat Devan berlari. Mungkin sekarang dia pergi ke ruangan ayahnya.
Aku sendiri bingung harus berbuat apa. Aku terlalu takut. Aku takut kalau tiba-tiba Gavin meninggalkanku. Aku tak mau itu terjadi
***
Devan POV
Ini semua ga' benar. Gue harus cari tahu kenapa tiba-tiba Gavin menghilang. Gue harus menemui Papa. Papa pasti tahu semua ini.
Gue berlari menuju ruangan papa. Gue udah gal' peduli lagi apakah Papa sekarang ada pasien atau tidak. Yang gue pengen tahu sekarang itu cuma Gavin. Dimana dia sekarang dan kenapa dia bisa pergi.
Gue buka pintu ruangan. Gue lihat papa sedang bersama seseorang yang gue tahu adalah asistennya. Gue ga' peduli apa yang mereka bicarakan. Gue lalu berdiri di depan mereka berdua.
"Kenapa Gavin tidak ada di ruangannya Pa?" tanya gue to the point.
Papa sepertinya kaget dengan kedatangan gue yang tiba-tiba.
"Devan, kamu duduk dulu!" ucap Papa yang berusaha tenang.
"Ga Pa. Aku harus tahu Gavin dinana. Kenapa dia tiba-tiba menghilang?"
Gur lihat asisten Papa memilih keluar. Mungkin dia tahu saat ini gue butuh bicara berdua dengan Papa.
"Kamu tenang nak."
"Gimana aku bisa tenang melihat sahabatku yang tiba-tiba menghilang."
"Oke! Kamu duduk dulu."
Gue lalu duduk.
"Gavin dibawa Ayleen keluar dari rumah sakit ini."
"Tapi kenapa tiba-tiba?"
Papa tiba-tiba menghembuskan nafasnya. Gue tahu ini bukan kabar baik.
"Kondisi Gavin semakin lama semakin memburuk. Apalagi kemarin dia collapse. Rasanya mustahil dia bisa bangun lagi. Untuk itu Ayleen memutuskan membawanya keluar."
Rasanya antara percaya atau tidak. Gue baru saja mendengar berita terburuk sepanjang gue hidup.
"Ga' mungkin ... bilang ini bohong Pa," ucap gue bergetar.
"Sayangnya ini benar Van."
Gue meremas rambut gue frustasi.
"Tapi kemana Pa?" tanya gue.Ga' terasa air mata telah keluar dari sudut mata gue. Sebenarnya gue tipe orang yang jarang menangis. Bahkan terakhir gue menangis adalah ketika duduk di bangku sekolah dasar.
"Papa ga' tahu Van."
Gue menggelengkan kepala, "Ga' mungkin. Pleas Pa, bilang kemana Gavin di bawa," ucap gue sedikit berteriak.
"Maafkan Papa Van. Papa ga' bisa kasih tahu. Ini semua keinginan Ayleen."
"ARGH ..."
Papa kemudian berjalan ke arah gue. Dia lalu duduk di bangku yang persis di samping gue duduk.
"Sabar Nak. Ini memang berat. Tapi kamu harus tahu kalau semua ini untuk kebaikan Gavin. Sekarang yang penting adalah kamu doain Gavin agar bisa selamat. Karena yang dibutuhkan Gavin sekarang hanya semangat." Papa mengusap kepala gue lembut
"Papa benar. Ga' ada gunanya sekarang aku marah-marah." Perasaan gue mulai tenang. Setidaknya gue tahu sekarang Gavin masih hidup.
"Sekarang giliran kamu umtuk memberi penjelasan kepada teman-temanmu." Papa menepuk pundak gue pelan
"Baik Pa ... aku keluar dulu."
Gue lalu melangkahkan kaki keluar dari ruangan Papa. Gue harus bisa menenangkan teman-teman. Gue tahu ini semua ga' mudah. Tapi semuanya harus dijalani. Gue yakin Gavin pasti kecewa melihat gue dan teman-teman merasa terpuruk. Untuk itu gue akan berusaha semaksimal mungkin agar teman-teman gue tenang dan mendoakan yang terbaik buat Gavin.
Tamat
Ga' deh becanda ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Gavin (Revisi)
Teen FictionGavin Aldebaran Abraham, cowok ganteng, kaya, most wanted, bad boy yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun apa jadinya kalau semua kesempurnaan itu berbalik jadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya sekalipun? Jasmine Afsheen Myesh...