Hallo Gavin 50

14.6K 852 17
                                    

Jasmine POV

Hari ini adalah hari keberangkatanku untuk kembali ke Jakarta. Besok aku sudah mulai sekolah dan aku sudah berjanji kepada kedua orang tuaku untuk kembali menjadi Jasmine yang dulu. Yang manis dan yang menjadi kebanggaan keluarga dan guru. Untung saja keberangkatanku sore hari kalau tidak mungkin aku batal berangkat karena semalam aku ketiduran di rumah Gavin.

Semalam itu adalah sesuatu yang cukup menakutkan untukku. Bagaimana tidak. Aku melihat Gavin yang sudah semakin membaik tiba-tiba saja kambuh. Dia kelihatan sangat kesakitan. Dan yang paling membuatku sakit adalah dia seperti itu karena dia tertekan. Ternyata selama ini dia berusaha kuat. Ternyata dia menyimpan beban yang sangat berat di hidupnya. Dan kata dokter itu yang membuatnya jadi kambuh.

Flashback

Saat ini aku sedang berada di kamar setelah kami pulang dari pulau Shamian tadi. Setelah membaringkan tubuh Gavin di tempat tidurnya yang dibantu oleh beberapa orang petugas apartemen akhirnya aku dan Tante Ayleen duduk di tepi tempat tidur Gavin. Awalnya kami melihat Gavin biasa aja. Sampai akhirnya terdengar gumaman-gumaman dari bibirnya.

"Maaf," ucapnya

Tante Ayleen yang panik langsung menelpon dokter. Sementara itu aku lalu mendekati Gavin. Aku mau melihat apakah dia sadar dengan yang diucapkan atau tidak.

"Vin," ucapku. Namun ia tak merespon. Tapi dia terus bergumam.

"Maa f... aku gak mau! jangan!"

Dia terus bergumam tidak jelas. Lalu kuperiksa keningnya. Ternyata panas sekali. Aku panik.. lalu aku memanggil tante Ayleen. Setelah itu tante Ayleen datang.

"Panas banget Tan,"

Tante Ayleen lalu memeriksa suhu tubuh Gavin.

"Ya Allah nak! Kenapa jadi kaya gini?"

Lalu tante Ayleen mengambil kompresan dan meletakannya pada kening Gavin.

"Maaf ... sakit ... sakit!" ucap Gavin masih mengigau. Tante Ayleen terus menggenggam tangannya.

"Dalam keadaan tak sadarpun kamu masih kesakitan Nak," Tante Ayleen membenarkan letak selang oksigen yang hampir terlepas dari hidungnya.

Begitu berat perjuangan Gavin. Aku jadi semakin gak kuat melihatnya. Rasanya aku rela membagi sakitnya denganku. Tapi itu tak mungkin.

"Tante sabar ya," ucapku sambil mengusap air mataku yang yang sudah tak tertahan lagi.

Tante Ayleen hanya tersenyum pilu. Tak lama dokter Gavin datang untuk memeriksanya. Kami hanya menunggu dokter memeriksanya dengan sabar. Setelah selesai, tante Ayleen keluar dari kamar untuk mengantar dokter ke pintu apartemen. Aku lalu pindah duduk ke sebelah Gavin. Ku usap wajahnya yang udah semakin tenang. Begitu damai. Tak lama, aku merasakan kantuk yang luar biasa sampai akhirnya aku tertidur dengan bertumpu dengan tangan gavin yang tadi ku genggam.

***

Perlahan aku merasa ada pergerakan di atas wajahku yang membuatku terbangun. Ternyata Gavin mengangkat tangannya yang sepanjang malam terhimpit olehku.
Ternyata dia sudah bangun. Aku lalu mencoba menyentuh keningnya ternyata panasnya sudah turun. Syukurlah.

"Mama," ucap Gavin sambil membuka selang oksigen di hidungnya.

"Aku Jasmine Vin, kenapa selangnya di buka?" tanyaku.

"Jasmine? Kamu semalaman di sini?"

"Aku ketidiran di sini Vin. Tadi malam kamu panas banget." Kulihat jam. Ternyata sudah pukul sembilan pagi

"Maaf ya Mine. Aku lagi-lagi ngerepotin kamu."

"Jangan ngomong gitu. Kamu beneran udah ga papa Vin? Itu ga pake oksigen ga papa?" tanyaku khawatir.

"Iya ga papa. Aku ga nyaman pakai ini." Ia tersenyum.

"Apa aku undur aja pulangnya?"

"Jangan Mine, aku ga mau kamu ninggalin sekolah demi aku. Aku mau kamu sukses. Lagian 'kan kamu udah janji ke orang tua kamu buat berubah."

Aku memang telah menceritakan semua yang terjadi kepadaku pada Gavin. Termasuk perubahanku di sekolah dan janjiku pada ayah bunda untuk berubah.

"Tapi Vin?"

"Ga ada tapi sayang. Aku juga janji akan sembuh sesegera mungkin dan balik lagi ke Indonesia buat kamu."

"Janji Vin?" Aku lalu mengambil kelingkingnya dan mengaitkan ke kelingkingku."

"Janji!"

***

Sekarang aku sudah berada di atas pesawat bersama bang Arya untuk menuju kembali ke Indonesia. Rasanya sangat berat meninggalkan Gavin. Tapi aku harus melakukannya karena aku sudah janji mau berubah. Aku akan menepati janjiku demi orang-orang yang ku sayangi. Aku akan sukses. Aku akan membuat mereka semua bangga. Seperti Gavin. Dia berjuang di sana dan akupun harus seperti itu. Aku juga harus berjuang. Berjuang untuk meraih cita-citaku. Seperti impianku sebelum aku merasakan jatuh cinta. Aku memiliki mimpi yang sangat besar. Aku ingin menjadi seorang dokter. Dan aku harus mewujudkannya.

"Kenapa lo senyum-senyum begini?" tanya bang Arya memandangku aneh.

"Gak papa,"

"Lo ga galau ya?" Bang Arya bertanya lagi.

"Galau sih pasti. Tapi gue harus semangat karena gue pengen jadi orang sukses," kataku semangat.

"Gitu dong lo, jangan sok-sok an jadi preman. Pakai berantem segala lagi."

"Itukan dia yang mulai. Siapa suruh dia ngatain gue saat gue galau?" ucapku tak terima.

"Iya, gue senang lo kembali dek," ucap bang Arya sambil mengusap rambutku pelan. Aku hanya tersenyum. Kadang-kadang abangku bisa manis banget.

"Btw,  lo ga galau ninggalin Kak melati?" tanyaku penasaran.

"Nggak. Soalnya katanya dia mau balik tahun depan ke Indonesia."

"Serius lo? Kak Melati mau balik ke Indonesia. Yaa, kasian dong sahabat gue?" Aku mengerucutkan bibirku.

"Min, Atha itu cuma gue anggap adek ga lebih."

"Yaudah deh. Patah hati deh sahabat gue."

Sebenarnya aku menyukai kedekatan bang Arya dengan kak Melati. Kak Melati itu orangnya baik dan dewasa. Benar-benar tipe cewek bang Arya. Sedangkan Atha itu masih kekanak-kanakan. Dia hanya dianggap adek sama bang Arya. Aku ga tau gimana reaksi Atha pas tahu bang Arya dekat dengan cewek lain. Mudah-mudahan dia bisa menerimanya dengan ikhlas.


Hallo Gavin (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang