Author POV
Devan berjalan lunglai dari ruangan Bian. Dia tak tahu harus mengatakan apa kepada teman-temannya terlebih Jasmine. Dia tahu bagaimana kondisi perempuan itu tadi mengetahui Gavin tidak ada dikamarnya. Ia tak bisa membayangkan kalau Jasmine tahu kalau Gavin sudah pergi jauh. Dia yakin gadis itu akan sangat terpukul.
Perlahan ia duduk di dekat Jasmine yang masih sesenggukan. Gadis itu sudah tidak nangis lagi. Hanya suara sesenggukannya yang belum hilang. Tak lama Jasmine memutar badannya ke arah Devan.
"Dimana Gavin?" tanya Jasmine penuh harap. Devan hanya diam. Dia tak tahu harus mulai dari mana.
"Jawab Van ... dimana Gavin?" tanyanya lagi dengan suara yang agak membentak.
"Davin dibawa pergi Tante Ayleen," jawab Devan tanpa melihat ke arah Jasmine.
"Maksud lo apa?" Davin tiba-tiba berdiri di depan Devan.
"Tadi gue tanya sama bokap. Katanya Gavin sudah dibawa tante Ayleen."
"Tapi kemana?" tanya Ronald frustasi.
"Gue ga' tau. Bokap ga' ngasih tau."
"Ga' mungkin," kata Jasmine pelan.
"Lo harus tenang Jasmine!" Devan menenangkan Jasmine.
"Ga ... ga' mungkin Gavin ninggalin gue. Ini ga bisa ... gue ga' sanggup." Jasmine tiba-tiba histeris. Dia menjambak rambutnya sendiri.
"Lo harus tenang Jas. Lo tau kita semua juga panik." Ronald berusaha menenangkan Jasmine.
"Ga ... gue ga' mau ... gue ga' mau kehilangan Gavin." Gadis itu meracau. Ia bersimpuh di lantai.
"Lo ga' kehilangan dia. Dia cuma berobat." Ronald masih mencoba menjelaskan.
"Tapi kenapa Tante Ayleen ga' bilang?" Sekarang suara Jasmine mulai melemah.
"Mungkin karena dia panik. Waktu dibawa Gavin sudah dalam keadaan koma. Mungkin saja karena itu Tante Ayleen ga' sempat beritahu kita. Lo tau 'kan Gavin itu keluarga satu-satunya yang dimiliki Tante Ayleen?"
Jasmine diam. Devan benar. Seharusnya dia harus berfikir positif. Tante Ayleen pasti melakukan yang terbaik untuk Gavin.
"Sekarang lo gue anter pulang ya?" tanya Devan. Jasmine hanya mengangguk. Dia lalu mengambil piala yang tadi terjatuh di lantai dan berjalan menuju parkiran.
***
Jasmine POV
"Kenapa lo?"
Bang Arya tiba-tiba bertanya saat aku baru sampai di rumah. Aku langsung saja memeluk Bang Arya. Sebenarnya ini sangat jarang terjadi. Aku tidak pernah memeluk Bang Arya kalau tidak sedang sedih.
"Bang ..." Aku menangis lagi. Aku tidak bisa menahannya. Bang Arya yang paham apa yang kurasakan hanya membalas pekukanku.
"Lo kenapa? Ayo sini duduk dulu." Bang Arya menghapus air mataku lalu ia menuntunku menuju sofa di ruang keluarga.
"Gavin bang ... dia ninggalin gue."
"Maksud lo? Gue ga" ngerti."
"Tante Ayleen bawa Gavin ke luar negeri. Tapi dia ga' beri tahu gue."
"Lo harus sabar. Tante Ayleen pasti ngelakuin yang terbaik buat Gavin."
"Tapi Bang ..."
"Lo saba!" Tiba-tiba Bang Arya memelukku lagi. Aku hanya bisa menangis di pelukan Bang Arya hingga akhirnya aku tertidur.
Setelah itu bangun-bangun aku sudah ada di kamar dan dan sekarang sudah pagi. Aku lalu bangun umtuk mandi karena sekarang aku harus ke sekolah. Banar kata Bang Arya dan teman-teman. Aku harus kuat. Gavin pasti akan pulang. Dia pasti sembuh. Tante Ayleen sudah janji akan melakukan apapun. Aku harus percaya sama Tante Ayleen.
Saat aku turun. Ku lihat semua keluargaku sudah berkumpul untuk sarapan. Aku mrngambil tempat duduk di samping Bang Arya. Hari ini dia tidak mengejekku. Bang Arya memang pengertian.
"Kamu mau nasi goreng atau roti?" tanya Bunda tersenyum ke arahku. Aku tau beliau khawatir. Tapi Bunda tak menunjukkannya padaku.
"Roti aja Bun."
Bunda lalu mengambil sebuah roti dengan selai coklat dan meletakkannya di piringku.
"Kamu semalam tidak tidur nak?" tanya ayah. Aku hanya menggeleng karena benar semalam aku tak tidur.
"Kalau kamu ga' kuat jangan di paksa. Lebih baik kamu istirahat."
"Aku kuat Bun," ucapku tersenyum
"Benar kata Bunda. Gue kasian lihat wajah lo udah kaya panda!" ucap Bang Arya tiba-tiba.
Aku lalu mengambil ponselku dan melihat wajahku dengan kamera ponselku. Ternyata benar kata Bang Arya. Wajahku sangat pucat. Mataku juga sudah berkantung.
"Jangan terlalu dipikirin ya sayang. Jangan sampai kamu ikutan sakit." ucap ayah.
"Iya yah. Jasmine usahain."
Ayah dan bunda lalu tersenyum kepadaku. Jelas sekali kalau mereka sangat khawatir kepadaku.
"Ayo ... sekarang lo gue anter!" Bang Arya berdiri.
Setelah pamit sama Ayah dan Bunda, aku lalu masuk ke mobil Bang Arya untuk pergi ke sekolah. Rasanya kakiku sangat berat melangkah menuju sekolah. Karena di sekolah hanya akan mengingatkanku pada Gavin. Begitu banyak kenangan bersama Gavin di sana
***
Begitu sampai di kelas. Kulihat semua orang memandangku kasihan. Bahkan banyak menemuiku dan mengucapkan ikut prihatin kepadaku seakan Gavin sudah meninggal. Tapi aku hanya diam. Aku terlalu lemah untuk menanggapi omongan mereka.
Tiba-tiba Atha masuk dan langsung memelukku.
"Lo harus kuat. Seperti Gavin yang selalu kuat!" ucap Atha.
Aku lalu tersenyum dan membalas pelukan Atha.
"Lo benar. Gue harus kuat."
Atha memang paling pengertian. Dia tidak seperti yang lain yang hanya bisa mengasihiku seakan aku ini ditinggal meninggal Gavin. Padahal Gavin itu cuma berobat. Ini semuanya pada lebay seakan-akan Gavin pergi untuk selamanya.
Tak lama, bel masuk berbunyi. Kami lalu menuju lapangan upacara karena sekarang hari senin. Ini akan jadi hari yang panjang. Apalagi sekarang sudah tak ada lagi yang buat hari ku berwarna. Tak ada lagi yang bikin kesal dan tak ada lagi yang suka jail dan tapi selalu membuatku tersenyum. Ah ... aku kangen Gavin ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Gavin (Revisi)
Teen FictionGavin Aldebaran Abraham, cowok ganteng, kaya, most wanted, bad boy yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun apa jadinya kalau semua kesempurnaan itu berbalik jadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya sekalipun? Jasmine Afsheen Myesh...