Hallo Gavin 49a

14K 866 0
                                    

Tak terasa besok Jasmine dan Arya sudah harus kembali lagi ke Indonesia. Ia harus kembali ke sekolah karena liburannya telah usai. Begitupun dengan Arya yang juga mulai masuk kuliah. Sementara Davin sekeluarga memang lebih dulu kembali daripada mereka berdua karena kesibukan orang tua mereka di Indonesia.

Karena ini hari terakhir, Jasmine memutuskan hari ini akan jalan-jalan seharian sama Gavin. Kebetulan kesehatan Gavin juga sudah mulai membaik dan sekarang dia juga sudah bisa Jalan. Jadi sekarang dia juga di perbolehkan untuk rawat jalan.

Tak jauh beda dengan Arya. Dia sekarang jadi semakin dekat dengan Melati. Terbukti sejak dari pagi sekali ia telah meninggalkan hotel. Katanya dia mau pergi jalan berdua dengan melati. Mungkin mereka akan mengelilingi sekitaran kota. Melati memang sudah hafal jalanan di sini karena dia sudah cukup lama disini. Jadi mereka tidak akan kesulitan lagi mencari destinasi yang akan mereka kunjungi.

***

Jasmin POV

Aku sekarang sudah berada di apartement yang disewa Tante Ayleen selama berada di sini. Aku sekarang sedang menunggu Gavin yang sedang bersiap-siap. Ternyata semuanya diluar ekspektasi ku. Aku berencana hanya jalan-jalan hanya di dekat daerah sekitaran apartemen saja. Tapi ternyata tante Ayleen telah mempersiapkan semuanya. Tante Ayleen telah menyiapkan tempat spesial untuk kami berdua. Yaitu ke pulau Shamian yang masih ada di Guangzhou.

"Ma, harus banget pakai pengawal?" tanya Gavin yang muncul dengan tongkat yang biasa di gunakan oleh tuna netra. Sepertinya dia telah menghafal letak dari apartemen ini.

"Iya, mama gak mau ambil resiko. Lagian mama akan suruh dia sepuluh meter di belakang kalian. Jadi gak akan ganggu."

"Tante benar Vin. Lagian juga kan kita ga tau daerah situ. Bagus dong kalau ada yang mantau. Jadi kita ga bakal nyasar," ucapku membenarkan ucapan tante Ayleen.

"Yaudah deh. Yuk berangkat!" ucap Gavin pasrah. Aku lalu berdiri menghampiri Gavin. Tak lupa kamu pamit terlebih dahu kepada tante Ayleen.

Sekarang kami sedang di perjalanan menuju ke pulau shamian. Aku dari tadi tak puas-puasnya memandang Gavin. Dia sangat ganteng bagaimanapun keadaannya. Gavin itu putih tinggi, hidungnya mancung berbanding terbalik denganku yang agak pesek. Rahangnya tegas dan mempunyai dada bidang walau sekarang sudah agak kurus. Di tambah lagi bibir tipisnya yang merah alami. Menjadikannya semakin sexy menurutku.

"Aku tau aku ganteng," ucap Gavin tiba-tiba. Aku jadi gelabakan sendiri. Kenapa Gavin bisa tahu. Dia kan ga bisa ngeliat.

"Si ... siapa yang ngeliatin kamu?" ucapku gugup.

"Hahaha, soalnya gak ada cewek yang gak ngelirik aku."

"Hahaha, pede banget sih kamu." Aku menoyor pelan kepalanya. Tapi benar sih. Kalau misalnya jalan sama Gavin itu harus siap mental. Banyak banget cewek yang melirik dia.

"Kamu ya, toyor-toyor. Mentang-mentang aku gak bisa bales," ucapnya sambil tertawa.

"Iya, maaf sayang," ucapku. Menyesal.

"Waw, kemajuan. Baru kali ini aku dengar kamu manggil sayang." Gavin heboh. Memang selama pacaran aku gak pernah memanggil Gavin dengan panggilan sayang. Walau Gavin sering melakukannya.

Aku lalu menyandarkan kepalaku pada Gavin sambil memeluk tangannya.

"Aku sayang banget sama kamu!" ucapku benar-benar tulus dari dalam hati. "Aku juga sayang banget sama kamu."  Gavin mengusap rambutku

***

Akhirnya kami sampai juga di Shamian Island. Walaupun ini pulau. Kami tak harus menyebrangi laut. Karena akses ke sana bisa dengan sebuah jembatan yang kelihatan sangat cantik. Setelah itu, kami memutuskan berjalan kaki tentu saja dengan seorang pengawal yang membawakan kursi roda Gavin karena Gavin tak akan bisa jalan kaki kelamaan mengingat dia belum sembuh total.

Sepanjang perjalanan. Banyak sekali pengunjung yang dari tadi memperhatikan Gavin. Hanya dua kemungkinan. Mereka melihat orang ganteng atau mereka melihat orang ganteng yang gak bisa melihat.

"Bagus banget Vin," ucapku kagum melihat pulau ini.

"Oh ya? Andai aku bisa lihat. Tapi gak papa. Kamu ceritain aja." Ia tersenyum.

Aku sebenarnya kasihan melihat Gavin yang seperti ini. Pasti dia susah sekali hidup seperti ini. Tapi dia tak pernah menunjukkannya pada semua orang. Dia selalu terlihat bahagia. Dan aku bangga sekali memiliki dia.

"Oke, di sekeliling kita itu semuanya bangunan-bangunan khas eropa gitu lo Vin. Pokoknya bagus dan bersih banget. Di pinggir jalan-jalannya juga ditumbuhi pohon yang kayanya udah ratusan tahun deh."

Gavin hanya manggut-manggut mendengar penjelasanku. Sepertinya dia sangat antusias. Aku lalu menghidupkan kameraku yang dari tadi tergantung di leher dan menfoto Gavin yang kebetulan sedang tersenyum lebar.

"Bunyi apa tadi?" tanyanya penasaran.

"Nggak ada," kataku pura-pura gak tau.

"Kamu foto aku ya?" ucapnya tersenyum. Aku lalu menfotonya sekali lagi.

"Kamu geer," ucapku terus mengambil foto Gavin. Mungkin sudah lebih dari lima. Dan semuanya bagus.

"Oh iya Vin, kamu juara lo lomba photografi waktu itu," ucapku menjelaskan.

"Aku tahu kok. Mama sudah bilang semuanya." Ia tersenyum. Kayanya Gavin itu selalu tersenyum. Gak takut overdosis kali ya.

Aku lalu menuntun Gavin untuk duduk di sebuah bangku taman. Aku gak mau dia kecapean. Jadi lebih baik kita duduk terlebih dahulu.

"Aku waktu itu takut banget ngeliat kamu tiba-tiba pingsan waktu olimpiade. Aku benar-benar takut apalagi kamu hilang tiba-tiba."

"Maaf ya, aku juga gak tau. Kamu tahu gak, waktu itu aku koma lima bulan. Setelah bangun tau-tau aku udah buta sama lumpuh. Itu adalah hari yang paling buruk dalam hidupku."

"Kamu hebat Vin. Kamu bisa buktikan kalau kamu iti bisa bangkit. Buktinya aja sekarang kamu bisa jalan lagi. Dan bentar lagi aku yakin kamu bisa ngeliat lagi," ucapku menggenggam tangannya lembut.

"Makasi sayang." Ia mencari tanganku satunya lagi.

"Jalan lagi yuk," ucap Gavin selanjutnya.

"Kamu kuat?" tanyaku memastikan.

Gavin lalu berdiri. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan mengitari pulau ini. Sepanjang perjalanan banyak banget berbagai macam patung. Akhirnya aku menuntun Gavin menuju sepasang patung anak-anak yang ada tak jauh dari kami. Aku lalu menuntun Gavin berdiri di sampung patungnya.

"Aku mau foto kamu," ucapku. Gavin hanya menurut dan mulai bergaya. Setelah itu aku memanggil pengawal untuk menfoto kami berdua. Kami berfoto sekitar setengah jam lalu setelah itu kami memutuskan berjalan kembali.

Sekitat lima menit berjalan, kulihat semakin lama jalan Gavin semakin pelan. Aku tahu pasti ada yang tidak beres. Aku lalu mengode pengawal untuk membawakan kursi roda Gavin. Karena dia pasti kelelahan sekarang.

Setelah itu. Tanpa sepengetahuannya aku lalu menuntunnya untuk duduk di atas kursi roda tersebut.

"Loh kok? " ucapnya

"Sekarang kamu aku dorong. Kamu udah aku bilang jangan dipaksain Vin! Aku lebih bangga kalau kamu jujur."

"Iya deh nyonya,"

"Kamu itu ya? Sehari ini gak ngeledek gak bisa ya?" ucapku sambil mencubit pipinya gemas.

"Itu 'kan hobi aku," ucapnya sambil menyentuh pipinya yang tadi ku sentuh.




Maaf kalau deskripsi tentang tempatnya salah. Aku cuma searching di google. Jadi kalau pada kenyataannya aku salah. Aku minta maaf ya,

Hallo Gavin (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang