Sekarang aku mau mengajak Gavin untuk membeli coklat panas yang tak terdapat tak jauh dari kami berdiri. Aku mendorong kursi roda Gavin menuju Cafe tersebut. Saat ingin antre untuk membeli coklat panas. Aku dan Gavin berdekatan dengan sekelompok orang yang mungkin seusia aku dan Gavin yang ternyata mereka orang Indonesia juga. Aku tahu karena aku mendengar dia berbicara dengan teman-temannya. Yang lebih membuatku penasaran mereka selalu melihat ke arah Gavin. Bukan dengan tatapan suka melainkan menatapnya dengan tatapan jijik. Karena penasaran aku lalu memutuskan untuk mendengarkan obrolan mereka. Mungkin mereka tidak tahu kalau kami orang Indonesia karena wajah kami memang lebih mirip wajah orang yang tinggal di kawasan bagian barat bumi.
"Eh lihat deh, cewek sama cowok itu. Kok mau ya sama cowok itu. Dia kan cantik," ucap perempuan pertama. Aku masih penasaran dengan percakapan mereka.
"Kan yang cowok juga ganteng. Wajarlah," kata yang kedua.
"Lo tu ganteng aja yang tahu. Lo gak liat dia cacat. Ganteng tapi cacat buat apa?"
Kupingku mulai panas.
"Tahu lo! Tapi tunggu deh, itu kayanya dia juga buta deh. Lihat tu dia bawa tongkat."
"Iya ya? mau aja tu cewek. Pasti dia di pelet. Kasihan banget.
"Iyuhh. Kalo gue mah lebih baik gak punya pacar dari pada sama cowok kaya gitu. Gak tau diri."
Sudah cukup. Ini ga bisa di biarkan. Aku harus buat perhitungan sama mereka. Kalau perlu akan kukasih cabe mulutnya yang tajam itu. Dasar ga punya perasaan.
Saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. Tanganku ditahan Gavin. Aku juga ga tau kenapa Gavin bisa tahu posisi tanganku.
"Jangan!" ucap Gavin lembut.
"Tapi Vin? Aku gak terima kamu di gituin. Semua omongan mereka itu salah!" ucapku yang masih menahan emosiku.
"Aku gak Papa sayang. Kamu lihatkan aku itu kuat seperti yang kamu tahu."
Aku memang tahu dia kuat. Tapi aku yang gak kuat. Aku gak kuat melihat dia dihina seperti itu. Tapi mau gimana lagi. Aku ga mau membantah Gavin.
"Yaudah, kita pulang aja yuk!" ucapku akhirnya.
Gavin hanya mengangguk lemah. Lalu aku mulai mendorong kursi roda Gavin menuju tempat tadi kami parkir. Mungkin perjalanannya sekitar sepuluh menit karena tempat ini cukup besar hampir sekilo.
***
Gavin POV
Sebenarnya sakit banget mendengar orang lain menghinaku di depan mataku sendiri. Apalagi di dekat orang yang paling kita sayangi. Aku merasa menjadi orang yang paling hina di dunia ini. Seperti parasit yang hanya menempel dan bergantung kepada orang lain. Tapi perkataan mereka tak sepenuhnya salah. Aku sadar diri. Aku sadar sekarang aku menang bergantung pada orang lain. Aku buta. Walaupun sekarang aku sudah mulai bisa jalan sendiri. Tapi tetap saja itu tak bisa lebih dari setengah jam mengingat kesehatanku yang sangat lemah. Bahkan sekarang aku sudah tak mampu lagi berjalan sendiri karena badanku sangat lelah. Bahkan untuk berdiri saja sudah tak mampu.
Aku kasihan melihat Jasmine yang dari tadi berjalan jauh dan ditambah harus mendorongku. Aku rasanya sangat menyusahkan. Tapi kalau misalnya aku bilang sama Jasmine. Dia pasti marah seperti waktu itu. Aku tak sanggup kalau harus melihat Jasmine marah. Lebih baik aku pura-pura kuat dari pada harus marahan sama Jasmine.
Pada saat kami telah sampai di parkiran. Aku memutuskan berusaha berdiri dan berusaha masuk sendiri kedalam mobil. Aku tak mau lebih merepotkan Jasmine lagi.
"Kamu kuat?" tanya Jasmine yang melihat aku tiba-tiba berdiri.
"Iya, aku hanya minta kamu menuntun saja buat masuk mobil!" ucapku pelan.
Setelah berhasil masuk ke dalam mobil. Aku memutuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk ku bersandar. Tapi aku tak kunjung menemukannya. Kayanya penyakitku sudah mulai kambuh. Rasanya sakit. Aku lalu mengambil obat yang ada di kantongku dan meminumnya.
"Kamu beneran gak papa?" tanya Jasmine khawatir. Tapi aku tak dapat menjawab pertanyaannya. Rasanya obatnya tidak bereaksi sama sekali.
Aku mulai panik. Rasanya pasokan oksigen di tubuhku sangat sedikit. Aku mulai lemas. Nafasku sangat sesak ditambah seluruh badanku sangat sakit.
"Vin," ucap Jasmine yang mulai khawatir.
"Ok ... si ... gen," ucapku terputus. Ya Tuhan. Apalagi ini?
Jasmine lalu menyuruh pengawal mengambil tabung oksigen yang tadi sudah diletakkan mama di bagasi.
"Tahan Vin," ucap Jasmine. Aku lalu meremas tangan Jasmine hingga dia meringis.
Setelah mendapatkan tabung oksigen itu. Jasmine langsung memakaikannya padaku. Perlahan nafasku mulai teratur. Aku sudah bisa mengatur nafasku walau sakit di tubuhku masih terasa. Rasanya sudah lama aku ga kambuh seperti ini.
"Sssakit," ucapku pelan.
"Vin ... ayo remas tangan aku lagi kalau bisa ngurangin sakitnya."
Aku gak bisa membalas kata-kata Jasmine. Tapi aku tak mau lagi menyakiti tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata menahan sakit di tubuhku.
Tiba-tiba aku merasakan Jasmine menarik tubuhku menjadi berbaring di pahanya. Aku hanya bisa pasrah. Bergerakpun rasanya aku tak sanggup.
"Sabar Vin! Gak lama lagi kita sampai," ucap Jasmine mengusap-usap rambutku pelan. Tak lama aku juga merasakan dia mencium keningku lama. Sangat lama..
"Gavin kuat," rasanya sangat sakit. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Aku hanya bisa mendengarnya. Menikmati suaranya. Seakan suara Jasmine bisa membuat sakitku sedikit berkurang.
"Gavin hebat!"
Perlahan aku mulai tersenyum walaupun tipis.
"Jasmine sayang Gavin!"
Itu adalah ucapam terakhir yang ku dengar dari Jasmine. Dan itu membuatku bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Gavin (Revisi)
Teen FictionGavin Aldebaran Abraham, cowok ganteng, kaya, most wanted, bad boy yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun apa jadinya kalau semua kesempurnaan itu berbalik jadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya sekalipun? Jasmine Afsheen Myesh...