chapter 17

524 12 0
                                    

"Jelita." Suara bunda peri memecah keheningan.

'Iya bunda peri, ada apa?" Tanyaku dengan kepala yang masih tersandar di bahu bunda peri.

"Apakah kamu bahagia dengan kehidupan yang kamu jalani, sayang?" Bunda peri balik bertanya.

Aku mengangkat kepala-ku. Bunda peri menggeser bahunya. Menatap lembut ke arahku. Aku membalas tatapan teduh itu. Berkali-kali tatapan itu mampu membuatku merasa nyaman.

"Kenapa bunda bertanya seperti itu?" Protesku.

"Bunda hanya ingin tau saja, sayang. Bunda ingin memastikan kebahagiaan yang kamu rasakan selama ini." Tutur bunda peri.

"Jelita bahagia kok bunda. Papa memberikan apa yang Jelita mau selama ini. Begitu pun dengan mama. Mama juga memberikan apa yang Jelita mau selama ini," jawabku mantap.

"Hanya sebatas itukah kebahagiaan yang Jelita dapatkan?" Tanya bunda sekali lagi.

"Emm, masih banyak bunda peri. Jelita bahagia, diberi izin sama papa dan mama untuk membawa mobil sendiri ke kampus. Jelita juga tidak pernah ketinggalan tren terbaru anak muda saat ini," jawabku polos.

"Hanya itu?"

"Masih banyak bunda. Jelita mau makan di restoran, menginap di hotel termewah sekali pun papa setuju. Pokoknya, papa tidak pernah marah Jelita menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan Jelita."

"Jelita sayang, sejatinya yang semua Jelita dapatkan dan rasakan selama ini bukanlah kebahagiaan yang hakiki, sayang."

Penjelasan bunda peri barusan membuatku tercengang. Selama ini, aku bahagia. Meski kekurangan kasih sayang dari papa dan mama.

Namun, aku bisa menghibur diri dengan refreshing, pergi berlibur kesana kemari. Toh, kehadiran mama dan papa tidak begitu berarti. Mereka terlalu sibuk dengan urusan kantor, butik dan lain sebagainya itu.

Hingga, aku sendiri lupa. Apa itu yang namanya kasih sayang. Bunda peri menatap-ku prihatin. Ada rasa iba yang terpancar di sana. Bunda peri menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jelita tau, apa itu bahagia?" Pertanyaan bunda peri semakin serius.

"Bahagia itu, saat perasaan kita senang dengan apa yang kita dapatkan, lakukan saat itu juga bunda," jawabku.

"Kebahagiaan sejati, bukanlah seperti itu sayang. Kebahagiaan yang Jelita ungkapkan tadi, hanyalah kebahagiaan yang berada di level paling rendah. Kebahagiaan karena fisik." Jelas bunda.

Aku mulai bingung dengan penjelasan bunda peri kali ini. Kalimat itu tak lagi sederhana. Butuh konsentrasi penuh untuk memaknai setiap kata yang terucap dari bibir manis bunda peri.

"Benarkah itu bunda peri?" Tanyaku penasaran.

Aku menatap lekat wajah bunda peri yang memancarkan cahaya terang itu. Cahaya yang meneduhkan hati yang sedang bersedih. Pelita yang memberi penerangan dalam gelap gulita.

Begitulah, bunda peri. Sosok malaikat yang kini ada di hadapanku. Ruangan yang tadinya gelap menyiksaku. Dengan kehadiran bunda peri. Membawa perubahan yang signifikan dalam pola pikirku.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang