chapter 42

276 8 0
                                    

"Maaa," ucapku lirih tak bertenaga.

Aku memandang mama yang tergeletak di ranjangku bagian samping. Ku tatap wajah mama yang menelungkup ke kasur, tempat dimana aku tidur saat ini. Bukan tidur, melainkan di rawat.

Ku pandangi sosok mama yang tampak begitu lelah. Aku juga lelah. Tubuhku terasa sakit semua. Di tambah dengan rasa bosan yang menyambutku kembali. Ya, ruangan yang berwarna serba putih. Tak ada warna yang lain.

Ku tatap, selang-selang penopang kehidupan yang melekat di tubuhku. Terutama bagian tangan. Di sana juga menancap sebuah selang yang terhubung ke sebuah botol yang tergantung di tiang dekat dengan ranjangku saat ini.

Botol yang berisikan cairan bening. Sekilas seperti air putih. Yang selalu menetes. Meskipun hanya setetes demi setetes. Namun secara kontinu, berulang-ulang.

Aku mencoba menggerakkan tanganku secara perlahan. Masih terasa kaku. Entah berapa lama aku terbaring di ranjang yang berhiaskan ruangan serba putih ini. Aku tidak bisa mengingatnya.

"Maa, ini Jelitaa," kataku lirih.

Tenagaku sepertinya telah terkuras. Meninggalkan sedikit untuk sekedar menyapa mama yang begitu kelelahan. Aku membelai rambut hitam mama, yang di biarkan tergerai begitu saja.

"Eeeeemmmm," ujar mama.

Perlahan tubuh itu bergerak. Aku sudah tidak sabar ingin memeluk mama. Aku senang, akhirnya bisa kembali lagi, masuk ke dalam jasad yang sangat aku rindukan ini.

"Hoaaamm," mama menguap.

Mama menutup mulut yang menguap dengan telapak tangannya. Lantas dengan sepasang bola mata yang setengah terbuka. Mama memandangi tubuhku.

"Sayang, sayang udaah sadar?" Kata mama gembira.

Wajahnya tampak semringah. Seketika, raut wajahnya yang tadi tampak sangat lelah sekali. Kini, bergantikan dengan senyum manis yang merekah di bibir mungil mama. Mama langsung mendekapku. Berulang kali, mama mengucapkan kata rindu untukku.

Aku melakukan hal yang sama. Membalas, pelukan mama. Pelukan hangat yang sangat aku rindukan. Hidupku kembali. Begitu juga dengan keluargaku. Aku bahagia, bisa memeluk mama kembali.

"Paaa!!!! Paaaa!!!!" Teriak mama memanggil papa.

Sebelum papa datang, masuk ke dalan ruangan tempat aku di rawat. Mama mencium keningku, pipiku. Tak hanya sekali, berulang kali. Saking bahagianya, menyambut kehadiranku kembali.

Melengkapi anggota keluarga yang sempat tercecer.

"Mama rindu sayaang," ucap mama lagi.

Tubuhnya melekat erat dengan tubuhku. Jemarinya begitu erat memelukku. Di tambah dengan ciuman yang bertubi-tubi dari mama. Tidak hidung, pipi, kening pun juga tidak absen dari ciuman kasih sayang mama kali ini.

Krekkk

Terdengar suara pintu yang bergesekan dengan udara. Sosok laki-laki dengan kacamata yang selalu setia lekat di area sepasang manik nan indah itu, berjalan mendekat ke arahku. Tempat di mana tubuhku terbaring lemah. Di atas kasur dengan sprei yang berwarna serba putih.

"Jelitaaa, putrikuu!!" Teriak papa riang saat melihatku yang sudah sadarkan diri.

"Papaa," jawabku lirih.

Tenaga ku belum pulih seutuhnya. Hanya saja, ada sesuatu yang aneh. Yang telah membuat tenagaku bisa terkuras habis seperti ini.

"Papa kangeen sayang. Kangen sama Jelita," ujar papa yang langsung memelukku.

Tingkah papa memang tidak jauh berbeda dengan mama. Tak puas mencium keningku. Papa juga menicumi pipiku. Yang tidak tersentuh oleh air, selama aku tidak sadarkan diri.

"Suss, susteeeer!" Panggil papa.

Tak perlu menunggu lama, seorang perempuan dengan pakaian serba putih masuk ke dalam ruangan tempat di mana aku di rawat. Ia mengenakan pakaian yang serba putih. Memupuk rasa jengkelku dengan suasana yang itu ke itu saja di rumah sakit ini.

Tak berselang lama, seorang dokter muda dan beberapa suster lainnya ikut menyusul, masuk. Memeriksa kondisiku. Mama sama papa, mengamati dari samping ranjang. Tangan-tangan suster itu begitu cekatan.

Membantu dokter muda yang kini tengah memeriksa keadaanku setelah berhibernasi panjang. Tak ada wajah tegang di sana. Dokter muda yang tengah memeriksaku mengulum senyum. Membuatku merasa sedikit nyaman akan kehadirannya.

Usai memeriksa keadaanku. Dokter meminta papa untuk pergi ke ruangannya. Mama yang menemani. Menyisakan beberapa suster yang masih sibuk mengganti botol plastik yang berisi air itu. Yang terhubung dengan tanganku lewat selang penopang hidupku.

"Terima kasih ya sus," ucap mama kepada salah seorang suster yang hendak keluar ruangan.

Setelah menyelesaikan tugasnya.

"Sama-sama buk." Jawab suster itu sembari melemparkan senyum ke arah kami.

Setelah suster itu keluar ruangan. Menutup pintu, meninggalkan kami berdua di dalam ruangan yang serba putih. Mama segera duduk di sampingku. Duduk di sebuah kursi.

"Apa yang kamu rasakan, sayang?" Tanya mama.

Tangan lembut mama mengelus pipiku. Mama memandangiku dengan tatapan penuh kebahagiaan. Jauh berbeda dengan tatapan yang aku lihat ketika masih berada di negeri bayangan.

"Badan Jelita, terasa remuk mah," jawabku dengan nada manja.

Nada suaraku masih sangatlah lemah. Namun, aku tetap mencoba untuk menjawab pertanyaan mama barusan. Melihat senyum tulus mama. Wajah semringah mama, seperti ada energi tambahan yang merasuk ke dalam tubuhku.

Aku memperoleh nyawa tambahan saat ini. Tangan mama tak berhenti membelai lembut pipiku. Aku mengulum senyum yang terasa sedikit kaku. Mungkin, karena anggota tubuhku yang hanya terbaring dalam tempo yang cukup lama. Membuat semua persendian dan engsel-engsel tubuh menjadi kaku.

"Mama senang, akhirnya kamu sadar juga sayang. Kami khawatir," kata mama llirih

Kini, jemarinya menggenggam jemariku. Bibirnya mencium pipiku kembali. Aku seperti anak kecil yang mendapatkan kasih sayang dari mamanya ketika berumur di bawah satu tahun. Di perlakukan sedemikian rupa penuh kelembutan.

"Jelitaa........ juga rindu mah," tuturku.

Jemari mama semakin erat menggenggam ke sepuluh jemariku yang masih lemas, tak berdaya. Sedangkan wajahku, menerima serangan telak berupa ciuman manja dari mama tercinta.

Kristal bening itu tumpah. Bukan karena sedih yang menyapa. Namun, lebih karena merasa terharu dengan semua keajaiban ini. Dengan hadirnya diriku kembali. Yang akan melengkapi anggota keluargaku lagi.

"Tuhan, terima kasih. Telah mendengar doa-doa ku dalam negeri bayangan. Akhirnya, aku bisa bersama dengan mama dan papa lagi. Aku akan menepati janjiku, Tuhan." Desisku dalam hati.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang