chapter 38

245 5 0
                                    

Aku menatap lekat, tubuh lemah yang terbaring diatas kasur serba putih itu. Bunda peri, tersedu di kejauhan. Kenapa bunda peri merahasiakan semua ini. Aku merasa dibohongi. Entahlah, siapa yang membohongiku.

Kristal bening itu, hendak keluar. Aku masih mampu menatapnya. Menatap sosok dengan wajah pucat yang terbaring lemah. Bunda peri, tidak sanggup lagi menatapku. Bunda peri lebih memilih membuang muka, kearah yang lain.

"Maaa..." desahku lirih.

Mama masih terlelap. Mungkin lelah. Aku membelai lembut rambut hitam mama yang tergerai. Aku sangat merindukan mama. Lihatlah wajahnya yang lelah. Menunggu jasadku yang begitu lemah, pucat.

"Mamaa, aku kangen," kataku lembut.

Kali ini, aku tidak sanggup lagi menahan air mataku. Kristal bening itu, terhempas begitu saja. Mengikuti gaya gravitasi bumi. Menembus lapisan udara, dengan semilir angin lembut yang syahdu.

Tesss

Kristal bening itu, telah sampai di tempat terakhir. Menyentuh lantai keramik yang berwarna putih. Sungguh perpaduan warna ruangan yang membosankan. Semua berwarna putih. Tak ada yang lain. Hanya warna putih.

"Jelitaaa," ujar mama terbangun dari mimpinya.

Mama membuka sepasang bola matanya. Wajah lelah, menyapaku. Kasihan mama, pasti kehilangan selera makannya. Menghabiskan setiap jam kehidupan, hanya untuk menatap tubuh pucat yang terbaring lemah itu.

Mama menatap tubuh lemahku. Mama tidak bisa melihat ragaku yang abstrak ini. Aku sedih, betapa menderitanya hidup ini. Kenapa begitu banyak cobaan yang harus ku lalui. Aku salah apa coba? Harus menjalani beban serta ujian hidup yang sangat berat.

"Maa, Jelita ada di sini ma. Di sini....." rintihku.

Percuma, mama tidak mendengarku. Mama lebih tertarik untuk menatap tubuh lemah yang terbaring diatas kasur putih.

"Sayang, kapan kamu bangun. Sudah lama kamu tidur?" Tutur mama lirih.

Mama menatap jasad yang terbaring lemah itu. Kristal beningnya beruraian. Nada bicaranya terdengar bergetar, menahan perih di hati. Mama menangis. Menangisi keadaan putri tersayangnya. Aku tidak tau, apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa diam.

Ikut meratapi semua kejadian ini. Tuhan, andai Engkau memberiku kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya. Aku akan berhijrah. Aku akan berubah ke arah yang lebih baik lagi.

Aku janji, aku akan lebih dekat lagi kepadaMu, wahai Rabb-Ku. Aku janji, akan memperbaiki cara berpakaianku selama ini. Beri aku kesempatan untu hidup yang kelua kalinya, Tuhan. Aku hanya hambaMu yang lemah, hina.

Tak pantas rasanya aku mendapatkan kesempatan itu. Aku menangis. Kristal bening itu beruraian kemana-mana. Berserakan diatas lantai keramik yang berwarna putih, suci.

"Jelitaa...." kali ini suara lembut bunda peri yang menyapa.

Aku menatap bunda peri, bunda yang selama ini yang selalu terhiasi senyum manis di bibirnya. Kini, kristal bening beruraian dari pelupuk matanya.

"Iya bunda," jawabku dengan nada serak.

Aku mendekat ke arah bunda peri. Sia-sia aku memanggil mama. Mama tidak bisa melihat keberadaanku. Apalagi mendengarkan suaraku. Sakit, begitu sakit rasanya. Semua ini, sungguh memilukan.

"Sini sayang, jangan menangis begitu. Nanti kecantikanmu, jadi pudar sayang," tutur bunda peri lembut.

Bunda peri mengusap lembut rambutku. Membelainya. Aku merasakan kenyamanan di sana. Di saat rasa nyaman yang aku butuhkan dari mama tak kunjung ku peroleh. Sentuhan lembut bunda peri, bagaikan pengganti kenyamanan yang mama pancarkan selama ini.

"Jelita... Jelita pengen kembali ke jasad Jelita, bunda peri," kataku lirih.

Sungguh lirih. Aku bagaikan makhluk yang tidak berdaya kali ini. Bunda terus membelai rambutku. Terus memberikan rasa nyaman ke relung hatiku yang paling dalam.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang