chapter 40

265 4 0
                                    

"Dok...." ujar papa membuyarkan lamunan sang dokter.

"Ehh, maaf pak. Sepertinya, ada tamu yang datang. Ini berita baik," kata dokter yang kini duduk di hadapan papa.

"Tamu?" Papa tampak celingukan.

Seolah mencari sesuatu yang memang tidak akan pernah bisa merasakan kehadiran tamu itu. Bunda peri benar, dokter ini mampu merasakan kehadiran kami. Namun, ia tetap tak acuh dengan kehadiran kami.

"Siapa dok? Sepertinya, saya tidak melihat siapa pun yang datang?" Ujar papa kemudian.

"Bukan siapa-siapa pak. Tidak usah di pikirkan," jawab dokter muda itu.

Lengkungan tipis menghiasi bibir dokter muda yang duduk di hadapan papa saat ini. Papa kembali fokus, matanya menatap serius dokter muda yang ada di hadapannya.

"Jadi, putri saya menderita penyakit apa dok?"

Suara papa semakin lirih terdengar. Ada nada kesedihan yang luar biasa di sana. Menyembunyikan kepiluan yang mendalam. Sepasang bola mata itu, tampak menahan kristal bening yang terkumpul kian banyak di persinggahan terakhir. Menunggu pertahanan itu jebol dengan sendirinya.

"Berdasarkan gejala yang di alami pasien, penyakit yang di derita oleh pasien adalah penyakit Leptospirosis," jelas sang dokter.

Dokter muda itu menarik napas panjang. Menahannya sejenak, kemudian menghembuskan melalui lubang hidungnya. Papa tampak tegang, ketika dokter mengatakan penyakit yang bersemayam dalam diriku.

"Leptospirosis?" Papa mengulangi nama penyakit itu.

Dokter muda yang ada di hadapan papa, mengangguk kecil. Memberikan waktu, agar papa bisa lebih tenang. Sedangkan bunda peri. Yang berdiri di depan pintu. Memeluk erat bayangan diriku. Merangkul sesukanya.

Sepertinya, penyakit yang singgah dalam diriku, begitu berat. Sangat berbahaya. Hingga membuat sikap mereka berubah menjadi melankolis seperti itu.

"Benar pak, penyakit Leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit yang di sebabkan oleh bakteri leptospira, yang di sebarkan melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi oleh bakteri ini. Seperti hewan ternak, sapi, babi, maupun anjing, dan hewan pengerat seperti tikus." Dokter menjelaskan.

Papa terlihat serius mendengarkan. Begitu pun dengan-ku dan bunda peri yang juga serius ikut mendengarkan. Bunda peri malah semakin sesenggukan. Tak kuat lagi, menahan kesedihan yang kini semakin menguap dari dalam dirinya.

"Nah, penyakit leptospirosis ini juga dapat menyerang pasien melalui kontak langsung dengan air hujan (air banjir, kolam, sungai, danau, dan air selokan). Atau bisa juga melalui tanah yang terkontaminasi urine hewan pembawa bakteri leptospira itu sendiri." Dokter muda itu tampak menghela napas panjang sejenak.

Memberikan jeda penjelasan yang begitu panjang lebar. Papa terus fokus mendengarkan. Tak ingin papa meninggalkan satu kata pun yang di jelaskan oleh dokter muda yang ada di hadapannya. Suasana ruangan, menjadi hening.

Hanya terdengar suara kertas yang di bolak-balik. Kemudian, dokter itu menunjukkan sesuatu kepada papa. Sepertinya tentang penyakit yang aku alami saat ini. Ingin rasanya aku melihat ke sana. Berbaur dengan mereka. Agar lebih jelas dengan penyakitku sendiri. Namun urung ku lakukan.

Bunda peri mencegahku. Takut, jika dokter itu akan mengetahui keberadaan kami yang begitu dekat. Meski kecewa, aku hanya bisa bertahan di dekat pintu keluar. Menunggu penjelasan dari dokter muda itu.

"Dok, apa putri saya bisa sembuh total?" Tanya papa ragu.

Terlihat, wajah papa yang begitu lesu. Kasian papa, siang harus bekerja. Sekarang, di tambah dengan memikirkan penyakitku ini. Aku memang anak yang tidak berguna. Hanya bisa menyusahkan mereka yang ada di sekelilingku.

"InsyaAllah masih bisa pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, setelah melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosa dan menentukan derajat kerusakan organ pasien serta untuk mengetahui derajat keparahan komplikasi. Kami juga akan melakukan tes serologi nantinya. Bapak bisa membantu dengan doa, agar kesembuhan putri bapak lekas terwujud." Terang dokter panjang lebar.

"Amiin dok, semoga putri saya bisa benar-benar sembuh." Kata papa dengan suaranya yang semakin serak.

Dokter itu kembali menjelaskan beberapa poin penting tentang penyakitku. Aku memilih keluar ruangan. Mengejar bunda peri yang lebih dulu keluar. Kristal bening itu tak hentinya mengalir. Entah apa yang bunda peri rasakan. Seharusnya bunda peri senang sekarang. Dokter bbilang aku masih bisa sembuh total.

"Bunda peri?" Sapaku lirih saat tubuhku berada di dekat bunda peri.

Satu...
Dua...
Tiga detik berlalu. Hanya lengang. Tak ada jawaban. Bunda peri sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku duduk di bangku lorong rumah sakit. Bersebelahan dengan posisi duduk bunda peri.

Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sibuk dengan pikiranku tentang penyakit yang saat ini bersemayam dalam diriku. Entah sampai kapan aku terus begini. Dengan raga yang terkatung-katung seperti ini.

Krekkk

Pintu ruangan terbuka. Papa keluar dengan wajah lesunya. Tampak rasa lelah yang terpancar di sana. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dokter muda itu. Papa menyalaminya. Lantas pergi, dengan wajah lesu yang menunduk. Menyusuri lorong rumah sakit.

"Paa, ini Jelita. Jelita ada di sinii paaa," kataku lirih sembari mengimbangi langkah papa.

Bunda peri belum beranjak. Masih terdiam dalam bangku panjang, yang ada di lorong rumah sakit. Aku terus mengikuti langkah papa. mencoba mengimbangi langkahnya.

"Papaa, ini Jelitaaa," rintihku parau.

Tak ada jawaban. Papa tidak menyadari kehadiranku. Dunia kami berbeda saat ini. Percuma, mau aku teriak sampai suaraku habis pun, papa juga tidak akan mendengar. Aku hanya bisa menatap papa dalam kesedihan.

Perlahan, papa masuk ke dalam ruangan yang serba putih itu. Menatap nanar, sosok yang terbarinh lemah di atas kasur, berbalut selang-selang penopang kehidupan.

Kristal bening itu meleleh. Pertahananku jebol juga. Aku tak sanggup, melihat papa sama mama sedih seperti sekarang ini. Aku menyesal, menjadi anak yang selalu ingin di manja. Meminta perhatian lebih. Tanpa memikirkan keadaan papa dan mama. Mereka yang di penuhi berbagai pikiran hidup. Yang selalu menghantui mereka setiap saat.

"Tuhan, beri aku kesempatan keduaa," kataku lirih sembari menengadahkan tangan.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang