chapter 36

237 5 0
                                    

Detik terus berlalu, berganti dengan menit. Menit pun juga pergi. Meninggalkan seberkas kenangan. Menghadirkan hitungan jam yang baru. Menyapa hati dalam rayuan merdu.

Aku tetap bersabar. Menunggu penjelasan dari bunda peri. Tentang jasad yang asli. Tentang semuanya. Semua hal yang membuat pertanyaan itu kian menumpuk dalam benakku. Rasanya, aku ingin lari dari semua ini. Namun, tak ada daya untuk melakukannya.

"Jasad Jelita yang asli." Tutur bunda peri.

Matanya sembab, menyimpan berjuta kesedihan di sana. Kristal bening tampak menumpuk dalam pelupuk matanya. Membuat sepasang bola matanya yang indah itu, berkaca-kaca. Aku tidak mengerti. Kesedihan apa yang bunda peri sembunyikan.

Aku terus menunggu jawaban dari bunda peri. Jawaban akan jasad Jelita yang bunda maksud. Jelas-jelas aku di sini. Berada di hadapan bunda peri. Kenapa bunda peri masih membicarakan jasadku yang asli? Aku tidak mengerti.

"Maksud bunda peri? Jasad Jelita siapa bunda? Jelita kan di depan bunda sekarang," kataku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Nanti bunda peri jelaskan. Sekarang, Jelita mau pulang kan? Jelita sudah rindu sama papa dan mama kan?" Tutur bunda peri sembari menyeka kristal bening yang jatuh itu.

Beruraian di atas pasir putih. Menghilang ke dalam celah-celah sempit yang terbuka. Diantara jutaan butir pasir putih yang masih suci.

"Iya bunda peri, Jelita sangat merindukan papa sama mama," jawabku penuh pengharapan.

Bunda peri melemparkan senyum manisnya kepadaku. Senyum yang membawa kesejukan. Bunda peri bagaikan ibu bagiku. Meski terkadang menyebalkan. Membuat hatiku bersedih, namun bunda peri begitu perhatian kepadaku.

Selama ini, ketika mama sibuk dengan butik-butiknya itu. Mama tidak pernah lagi peduli kepadaku. Tidak ada lagi tempat untuk bercerita. Sekedar berbagi. Semua sirna, mama yang dulu perhatian kepadaku telah menghilang, ditelan bumi. Terperosok ke dasar lembah yang tak berujung

"Bunda akan mengantarmu pulang, sayang." Kata bunda peri.

Tangan bunda peri menggenggam erat kedua tanganku. Aku menurut, mungkin bunda peri akan mengantarku pulang. Kembali bertemu dengan keluarga kecilku. Ada papa, mama di sana.

Bunda peri menggenggam erat tanganku. Aku memejamkan mata, sesuai dengan instruksi bunda peri. Rasa nyaman itu, kembali menjamu ragaku yang terlelap. Menyapa setiap relung kepedihan.

***

"Jelita, semoga kamu jadi anak yang baik, kelak. Bunda sayang kepadamu," tutur bunda peri lirih.

Kedua bola mata bunda peri, tak jenuh memandang sosok Jelita. Jelita yang kini, merasuki alam kenyamanannya. Mengikuti perintah bunda peri. Bunda peri segera membawa Jelita ke sebuah tempat.

Tempat yang begitu megah. Bangunan lima lantai yang menjulang tinggi, seakan ingin menggapai langit. Dengan cat dinding serba putih. Melambangkan kesucian. Perlahan, bunda peri terus membawa raga Jelita masuk ke dalam bangunan tersebut.

Terus membawa raga Jelita. Menyusuri loronh panjang yang cukup menguras tenaga. Menaiki anak tangga dengan penuh kesabaran. Semu itu, demi menyelamatkan nyawa seorang gadis nan cantik jelita.

"Sayang, andai saja. Takdir memberi waktu untuk menikmati hidup ini lebih lama bersamamu. Maka, bunda tidak akan pernah menolaknya, Jelita. Bunda akan sangat merindukanmu," ucap bunda peri lirih.

Bunda peri terus memandang tubuh Jelita. Dengan sepasang bola matanya nan hitam pekat itu. Bunda peri, ingin sekali memeluk Jelitanya. Jelita yang telah mampu memikat hati bunda peri. Bunda peri senang, sekaligus sedih. Senang karena bisa bertemu dengan Jelita.

Mengenal Jelita lebih jauh lagi. Dan sedih karena harus berpisah dengan orang yang sangat bunda peri cintai, Jelita.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang