chapter 43

269 5 0
                                    

Dua hari sudah, aku tersadar dari mimpi panjangku. Bisa menatap, memeluk dan bercanda lagi dengan mama tercinta merupakan sebuah keajaiban terbesar dalam hidupku.

Masa-masa sulit itu telah terlewati. Kisah, perjalananku dengan bunda peri. Jauh tertinggal dalam bayang masa lalu. Dua hari yang sangat membosankan bagiku. Harus mendekam di ruangan putih, dengan kapasitas udara bersih yang minim. Tak ada televisi. Begitu pun dengan gadget.

Apa kabar teman-temanku di luar sana. Aku juga rindu dengan Viola. Sahabat terbaikku. Sepasang bola mataku menatap sekeliling. Tak ada mama di ruangan. Mungkin, mama sedang mencari udara segar di luar. Bosan, dengan sirkulasi udara yang kurang memadai di ruangan ini.

Aku duduk di atas ranjang putih. Menatap keadaan diriku. Kondisi tubuhku kian membaik. Energi ku juga telah kembali. Meski terkadang, rasa lemas dan mual-mual masih sering menghantuiku. Mungkin, itu efek dari penyakit yang bersemayam dalam tubuhku.

"Pagi sayang, putri mama sudah bangun?" Sapa mama sembari membawa nampan yang berisi mangkuk dan segelas jus di atasnya.

"Pagi ma," jawabku tak kalah semringah.

Aku menatap dalam wajah mama yang berseri. Mama tampak bahagia pagi ini. Sudah lama, aku selalu menantikan momen seperti ini. Alangkah lengkapnya, jika papa juga ada di sini. Setelah menaruh nampan di atas meja, samping ranjangku. Mama memelukku. Mengecup keningku, pipi kiri dan kanan berulang kali. Seolah gemas denganku pagi ini.

"Sudahlah ma, putri kita kan baru sembuh. Jangan mama paksa untuk melampiaskan rasa kangen mama seperti itu, ahhh," ujar papa di kejauhan.

Papa masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang tak kalah riang dari mama. Setelah menutup pintu, papa berjalan ke arah kami. Memelukku, mencium pipi kiri dan kananku. Persis seperti yang mama lakukan kepadaku barusan.

"Yee, tadi ngelarang mama. Sekarang papa sendiri lebih brutal," protes mama.

Papa hanya menjawab protes dari mama dengan seulas senyum yang mengembang di bibir manisnya.

"Udaah laah pa. Putri kita mau makan. Papa jangan ganggu! Buruan keluar sana." Kata mama yang sudah duduk di samping ranjang. Dengan mangkuk yang menempel di tangannya.

"Sini, biar papa yang nyuapin putri kesayangan papa," cerocos papa merebut mangkuk yang ada di tangan mama.

"Ihh, papa apa-apaan sih?" Mama protes.

"Ini kan tugas mama, bukan tugas papa. Tugas papa itu cari duit, menjadi kepala keluarga. Kalau mengurusi putri kita kan menjadi tugas mama pa," terang mama tidak terima.

Mama memasang wajah kesal kepada papa. Mangkuk itu sudah berpindah tangan. Papa hanya menampilkan senyum penuh kemenangan. Aku senang, melihat keluargaku yang dulu kembali. Papa yang sering menggoda mama. Mama yang manja kepada papa. Seolah mereka menjadi pelipur lara dan rasa sakit yang hinggap dalam tubuhku.

"Eeehh, siapa bilang papa tidak berhak menyuapi putri papa sendiri," papa tak mau kalah.

"Siniin mangkuknya paa!!!" Mama berusaha merebut mangkuk yang berisi sarapan untukku.

"Oppsss, tidak bisa ma. Kali ini, papa yang akan nyuapin Jelita. Ya kan Jelita?" Kali ini papa meminta dukungan sekaligus persetujuan dari ku.

Sejurus kemudian, mama dan papa memandang lekat ke arahku. Menagih kepastian dariku. Aku jadi salah tingkah dengan sikap kedua orangtua ku pagi ini. Jauh di dalam lubuk hatiku. Aku senang sekali. Menemukan kembali kepingan kebahagiaan dalam keluargaku. Kebahagiaan yang selama ini aku nantikan kedatangannya. Meski harus menderita dalam penyakit. Aku tetap bahagia, di sini aku menemukan keping kebahagiaan yang sempat sirna itu.

"Emm, gimana ya?" Kataku sembari berpikir.

Ku letakkan telunjukku ke jidat. Berpikir keras, mencari solusi sikap kekanak-kanakan yang di mainkan oleh papa dan mama pagi ini. Aku sengaja, lama memutuskan siapa yang berhak untuk menyuapiku pagi ini. Wajah-wajah penasaran, lagi polos. Terpampang jelas dari papa dan mama.

Aku ingin menghentikan waktu sejenak, mengabadikan momen langka ini dalam sepanjang perjalanan kebahagiaanku. Melihat tingkah mama dan papa yang begitu polos. Ternyata sungguh mengasyikkan. Letupan kebahagiaan dari dalam hatiku tak dapat di elakkan lagi.

"Ayo dong sayang, jangan kelamaan. Keburu dingin sarapannya," mama mengingatkan.

"Eiittss, mama tidak boleh memprovokasi seperti itu. Biarkan Jelita berpikir sendiri. Mama takut kalah ya?" Goda papa, jemarinya mencolek pinggang mama.

"Isshh, papa apa-apaan sih. Siapa juga yang mau...."

"Baiklah, sudah Jelita putuskan," aku memotong kalimat mama.

Mama dan papa menatapku tajam. Tak sabar mendengar keputusan dariku. Aku menatap mama, kemudian setelah puas menatap mama. Ku tatap papa. Sorot mata papa, menunjukkan betapa berharapnya papa bisa menyuapiku pagi ini.

Akan tetapi, mama juga tidak kalah antusiasnya. Tapi sayang, aku harus memutuskan salah satu dari mereka. Kenapa harus satu? Tiba-tiba melintas pertanyaan itu di benakku. Dalam sekejap, timbul ide brilliant dalam benakku. Aku tidak akan menyia-nyiakan ketulusan papa dan mama yang ingin menyuapkan sarapan untukku pagi ini.

"Sayang....." papa tidak sabaran.

"Baiklah, Jelita sudah memutuskan. Dan keputusannya adalah......"

Papa dan mama tampak semakin penasaran. Aku sengaja, mengulur waktu beberapa detik. Membuat wajah papa dan mama di penuhi rasa penasaran.

"Papa dan mama!!!!" Teriakku lega.

"Haaaa?" Kata meraka kompak.

Papa memandang mama, begitupun dengan mama. Mama memandang tajam ke arah papa. Lalu, mereka pun tertawa. Pagi yang indah, meski sedikit gaduh menyertai sikap papa dan mama. Mentari memperlihatkan senyum merekah nan luar biasa pagi ini. Akhirnya, papa dan mama menyuapi ku secara bergantian.

Aku senang, walaupun rasa bosan hinggap di hatiku. Sebab, tidak siang tidak malam. Makanan yang masuk ke dalam perutku terasa begitu hambar. Pagi, sarapan bubur, siang jatah makananku pun lebih banyak sayurnya ketimbang ikan, ayam, ataupun daging.

Kata mama, itu semua demi kesehatanku. Agar lekas pulih total dan segera bisa pulang ke rumah. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil. Rumah, aku sangat merindukan rumahku. Rindu dengan mang Dadang, bi Ijah. Kenapa mereka tidak ikut ke rumah sakit? Ahh, mungkin, mereka di beri tugas oleh papa untuk menjaga rumah.

Aku ingin lekas pulang. Bosan terkurung dalam ruangan serba putih dengan segala pernak-pernik yang memicu rasa bosan itu meluap-luap ke permukaan.

"Sabar Jelita, kamu pasti akan sehat dan bisa pulang. Menjalani kehidupan seperti dulu lagi," kataku memberi semangat untuk diriku sendiri.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang