chapter 24

340 11 0
                                    

"Ayoo kesini bunda," aku setengah berteriak sembari melambaikan tangan ke arah bunda peri.

Aku menikmati betapa lembutnya awan-awan Sirrus ini. Sesekali, aku mencoba mencium awan-awan tersebut. Gagal. Aku hanya mendapatkan angin kosong.

***

"Jelita, andai kamu tau. Sejatinya ini hanyalah awal menuju sebuah kepedihan. Bunda tidak sanggup melihatmu bersedih. Meneteskan air mata kenangan. Namun, inilah takdirmu, sayang. Bunda hanya sebagai perantara akan semua ini." Batin bunda peri dalam hati.

Bunda peri terus memandang Jelita. Jelita yang berselimutkan kebahagiaan. Wajahnya yang riang, menghiasi. Bermain dengan gerombolan awan Sirrus di depan sana. Tak jauh dari tempat bunda peri berdiri.

Sesekali, senyum manis bunda merekah. Menjawab ajakan dan teriakan dari Jelita. Sesungguhnya, bunda tengah bersedih.

Jauh di dasar lubuk hatinya, bunda menangis. Tidak tega dengan kisah selanjutnya. Kisah yang akan bunda sampaikan kepada Jelita.

Andai setiap manusia diberi pilihan. Mungkin, Jelita akan memilih menjauh. Pergi untuk selamanya dari kenangan hidup yang pernah dilaluinya.

"Sayang, sudah selesai bermain awannya?" Tanya bunda peri lembut.

"Belum puas bunda," rengekku.

Wajah manjaku langsung menguak. Memenuhi, ruas wajah yang kini memandang bunda peri. Sepertinya, bunda peri ingin mengajakku pergi sekarang.

Pergi dari awan-awan Sirrus, sumber kebahagiaanku ini. Padahal, aku ingin lebih lama lagi menikmati betapa lembutnya awan Sirrus-ku ini.

"Sayang, ayo kita melanjutkan perjalanan." Kata bunda peri.

"Yahh, bundaa. Jelita belum puas bermain dengan awan kesayangan Jelita, bunda peri," jawabku kecewa.

Baru beberapa detik aku merasakan yang namanya bahagia. Namun, aku harus segera meninggalkannya.

"Tidakkah kita bisa lebih lama di sini bunda?" Lenguhku sembari memasang wajah cemberut.

"Tidak sayang. Perjalanan kita masih sangat panjang. Ada berbagai kehidupan yang harus kamu ketahui Jelita." Jawab bunda peri.

"Memangnya kita mau kemana lagi, bunda?" Tanyaku.

"Kita akan menelusuri tentang kisahmu, Jelita."

"Kisahku?" Kataku bingung.

"Iya, nanti Jelita akan mengerti dengan sendirinya setelah pergi dari sini." Terang bunda.

Kalimatnya memiliki makna tersembunyi yang belum bisa diterjemahkan oleh otakku ini. Aku sibuk mencari makna tersembunyi di balik kalimat bunda barusan.

"Tuuhh kan, bunda peri selalu saja begitu. Pakai acara rahasia-rahasiaan segala," protesku sembari memonyongkan bibir kearah bunda peri.

"Bunda hanya menjalankan tugas sayang. Jelita harus tau, tidak selamanya kehidupan itu selalu menyenangkan sayang. Ada kalanya kita merasakan sakit, pedih, luka, bahagia, senang, kagum, jatuh hati. Semua itu memiliki keseimbangan masing-masing dalam kehidupan sayang."

"Takdir, telah menggoreskan kehidupan yang terbaik untuk Jelita. Jelita tidak boleh mengeluh, Jelita harus tetap kuat, tabah dan terus semangat menjalani kehidupan ini. Karena bunda percaya, Jelita memiliki keistimewaan. Bunda kagum sama Jelita."

Aku tau, bunda peri berkata seperti itu karena hanya ingin menyemangati diri yang mulai lelah ini. Aku sudah bosan, dengan hidupku yang selalu merasakan kepedihan. Aku rindu yang namanya kebahagiaan. Sungguh, aku merindukan kebahagiaan.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang