Aku masih mengamati Jelita kecil yang polos. Betapa bahagianya Jelita kecil, mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Belaian lembut yang selalu aku rindukan. Begitu mudah didapatkan oleh Jelita kecil.
"Itu adalah cerminan dirimu, sayang." Tutur sosok yang tidak asing lagi bagiku.
Entah sudah berapa lama bunda peri berdiri di sampingku. Memandang pada keluarga kecil yang bahagia itu. Rasa benci? Entahlah, yang jelas aku tidak suka dengan kehadiran bunda peri.
Aku beranjak pergi. Meninggalkan bunda peri, dengan wajah kecewa yang merekah di sana. Aku tidak peduli. Aku sudah terlanjur membenci bunda peri. Kenangan pahit itu, terulang karena bunda peri.
"Jelita, kamu mau kemana?" Terdengar suara bunda peri memanggilku lirih.
Aku mengabaikan seruan itu. Melangkah pergi, semakin jauh dari bunda peri. Aku ingin bertemu dengan Jelita kecil. Menyapanya, menyentuh lembut pipinya yang mungil itu. Yang membuatku gemas, tak menentu.
"Bunda-bunda, Jelita pengen naik itu," kata Jelita kecil sembari menunjuk banana boat.
"Nggak bisa sayang, Jelita kan masih kecil. Besok, kalau Jelita sudah besar baru boleh naik ya, sayang." Tutur mamanya menjelaskan.
"Yaahhh," Jelita kecil memasang raut wajah kekecewaan.
Ia menatap kearah laki-laki yang berada di sampingnya. Matanya menatap lekat laki-laki itu, yang tidak lain papanya sendiri. Meminta persetujuan dari papa.
"Jelita harus makan yang banyak, biar cepat besar. Dan bisa naik Banana Boat ya sayang." Tutur papanya bijak.
Jelita kecil hanya bisa pasrah. Jika papanya sudah tidak setuju. Maka, Jelita tidak akan sanggup lagi melawan. Bukan karena papanya yang galak, pemarah. Namun, lebih karena setiap penuturan dari papanya. Begitu bijak terdengar di telinga Jelita kecil.
Membuat Jelita tidak bisa membantah setiap keputusan papanya. Aku berjalan semakin dekat. Aku ingin memeluk sosok Jelita kecil yang kini tidak jauh dariku.
Aku ingin memeluk erat Jelita kecil yang sungguh menggemaskan. Ingin menggendongnya, sungguh. Setiap kali melihat Jelita kecil. Aku seolah kembali meratapi masa laluku.
Apakah benar yang dikatakan oleh bunda peri barusan. Dia, adalah cerminan masa laluku. Jelita yang kini ada di hadapanku adalah diriku sendiri.
Bayang-bayang raga dalam masa yang telah tertinggal jauh di belakang. Tuhan, dimana ragaku saat ini. Kenapa, kenapa aku terus menelusuri masa laluku. Kenapa aku kembali hadir dalam kehidupanku.
Kehidupan yang telah tertinggal jauh di belakang.
"Bunda perii, bawa Jelita pulang," ujarku lirih.
Mana mungkin bunda peri mendengar kalimatku barusan. Bunda peri tidak ada di sampingku. Aku meninggalkan bunda peri di ujung bentangan pasir putih yang luas.
"Jelita mau pulang?" Suara lembut itu hadir kembali.
"Bunda peri?" Kataku kaget.
Bukankah aku meninggalkan bunda peri jauh di belakang. Apa sedari tadi, bunda peri terus membuntuti langkahku, tanpa aku sadari. Ahh, lagi-lagi hanya sebuah untaian pertanyaan yang akan tetap tersimpan dalam benakku.
"Bunda, akan segera membawa Jelita pulang. Sudah waktunya, Jelita kembali ke dalam jasad yang asli." Sambung bunda peri.
"Jasad yang asli?" Aku seakan bertanya kepada diriku sendiri.
Itulah kehebatan bunda peri. Sebesar apa pun rasa benciku kepadanya. Selalu saja, ada hal yang mampu membuat hatiku tenang kembali. Terasa begitu sejuk, menawan.
"Bunda peri tidak berbohong kan? Jelita lelah bunda," rengekku manja.
Tatapan bunda peri, begitu menyejukkan. Jauh menelusup ke dalam lorong hatiku.
"Untuk apa bunda peri berbohong sayang. Bunda akan membawamu kepada jasad yang asli." Ungkap bunda peri lagi.
"Jasad siapa bunda peri?" Tanyaku bingung.
Hening sejenak. Detik berlalu, hanya menghadirkan senyum tipis yang merekah di bibir bunda peri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dalam Doa
SpiritualMasa lalu? Menyedihkan? Menyenangkan? Semua insan pasti memiliki masa-masa indah dan masa paling menyakitkan dalam hidup ini. Begitulah takdir menggoreskan tinta kehidupannya. Terkadang, kenangan membawa kita menyelami masa lalu. Entah itu yang men...