chapter 41

271 7 0
                                    

"Jelitaa," suara bunda peri memenuhi ruangan serba putih.

Tempat dimana tubuh lemahku terbaring. Tempat dimana kesedihan papa dan mama terlampiaskan. Aku hanya bisa menatap perih semuanya.

"Paa, andai waktu mengizinkan Jelita kembali. Jelita tidak akan pernah manja lagi. Ma, Jelita sayaaaaang bangeet sama mama. Jelita kangeen memeluk mama."

"Sudahlah sayang. Semuanya akan kembali seperti dulu lagi. Jelita harus bersabar dulu ya," kata bunda peri.

"Tapii kapan bunda? Jelita capekk. Jelita tidak bisa terus-terusan seperti ini! Jelita rindu sama kehidupan Jelitaa bundaaa peri," tuturku sembari memeluk bunda peri.

Bunda peri membalas pelukanku. Erat sekali. Tuhan, aku memang tidak pernah tau akan seperti apa hidupku. Bahagia, perih, pedih, aku tak peduli. Aku ingin kembali. Bersama keluargaku kembali.

Tess

Bunda peri menghapus kristal bening yang mencair. Aku hanya bisa menangis. Perempuan lemah. Selalu saja menyusahkan orang lain. Bunda peri, menuntunku ke sebuah taman. Yang ada di bagian belakang rumah sakit.

Aku menghempaskan tubuh yang lelah di kursi kayu panjang yang ada di taman. Menatap sang mentari yang hendak tenggelam. Hanya hening yang menghiasi. Aku menatap ke kejauhan. Menelusuri setiap jejak cahaya senja yang menghias langit jingga.

Menebarkan pesona, bagi semesta. Taman ini terlalu sepi. Tak ada pengunjung yang berlalu lalang. Sekedar menikmati mentari senja di sini. Sepasang bola mataku terus menatap mentari yang menenggelamkan wajahnya di ufuk nun jauh di sana.

Membawa sejuta kenangan yang terjadi hari ini. Ku biarkan, semua kepedihan ini ikut tenggelam bersama sang mentari. Esok, saat mentari pagi datang menyambut penduduk bumi.

Aku ingin kembali dalam keadaan yang utuh kembali. Memeluk papa, mama yang sangat aku rindukan.

"Jelitaa," ucap bunda lirih.

"Iya bunda?" Kataku masih sibuk menatap mentari senjaku yang belum sempurna menghilang.

"Tugas bunda sudah selesai, sayang. Bunda akan merindu...." kalimat bunda tercekat.

Aku menunggu, memberi kesempatan kepada bunda peri untuk menghela napas panjang. Bunda tampak hendak mengatakan sesuatu yang sangat penting sekali.

"Bunda akan sangat merindukan, Jelita. Selamanya." Sambung bunda peri.

"Maksud bunda peri?" Tanyaku.

"Sudah waktunya Jelita kembali, ke dunia nyata. Tugas bunda peri sudah selesai menemani perjalanan Jelita." Jelas bunda peri.

"Jadiii...." ucapku ragu.

"Iyaa, kembalilah. Sudah saatnya Jelita pulang." Kata bunda peri kecewa.

Tampak bunda peri begitu sedih. Bercampur bahagia, ahh aku tidak tau apa yang tengah bunda peri rasakan saat ini. Bunda peri menarik tanganku dengan lembut. Aku hanya bisa menurut. Kami meninggalkan taman. Di saat mentari itu sempurna menenggelamkan wajahnya di ufuk sana.

Bunda peri membawaku ke dalam ruangan serba putih itu lagi. Menatap nanar sosok yang terbaring lemah. Aku menatap lekat sepasang manik mata bunda peri. Indah. Ada keteduhan yang terpancar di sana. Aku akan selalu merindukan bunda peri.

"Bundaa," kataku memeluk erat bunda peri

Hanya tangis, yang mengiringi perpisahan kami. Semua begitu cepat. Rasanya, baru beberapa menit yang lalu aku bertemu dengan bunda peri. Kini, benarkah kami akan berpisah.

"Bunda akan merindukan Jelita," tutur bunda peri.

Aku semakin erat memeluk bunda peri. Tidak ingin rasanya melepaskan pelukan ini. Pelukan yang begitu menenangkan hati. Sebuah pelukan yang tak pernah tergantikan dengan kehangatan yang di tawarkan dalam kehidupan nyata.

"Kembalilaah sayang," suara bunda peri terasa berat.

Kristal bening itu terkumpul di pelupuk matanya. Aku tau, ada kesedihan di sana. Aku tau, bunda peri tidak mau berpisah denganku. Aku tau itu. Begitu pun dengan hatiku. Aku tidak bisa begitu saja berpisah dengan bunda peri. Tidak bisaa.

"Kembalilah, bunda akan baik-baik saja, sayang," sambung bunda peri sembari mengusap kedua bola matanya.

Sesak rasanya deru napas ini. Aku masih ingin bersama bunda peri. Di sisi lain, aku sangat merindukan papa, mama di sana. Di dunia nyata. Cukup sudah perjalananku di lorong kehidupan yang kedua. Aku harus kembali.

"Bundaa, Jelita masih bisa bertemu dengan bunda kan?" Tanyaku dengan nada sedih.

"Masih sayang," jawab bunda sembari mengelus lembut wajahku.

Sebuah sentuhan lembut yang mengantarkan perpisahan kami senja ini. Meski ribuan kesedihan terus menghujami hati ini. Sudah saatnya, kami berpisah.

"Tentu sayang, Jelita masih bisa melihat bunda nantinya. Pakailah liontin ini. Kelak, jika Jelita merindukan bunda. Genggamlah erat liontin ini, dan panggil bunda peri. Bunda akan segera datang, sayang." Bunda peri menyodorkan kalung liontin kepadaku.

Aku menerima liontin perak yang bunda peri berikan. Sejenak, aku menatap lekat wajah teduh bunda peri. Pelukan bunda peri telah lepas. Hanya air mata. Yang tidak mampu kami sembunyikan.

"Kembalilah sayang," kata bunda peri lagi.

Untuk terakhir kalinya, aku memeluk bunda peri. Berharap ada kenyamanan seperti ini dalam hidupku nanti.

"Kembalilah Jelita, semuanya akan baik-baik saja." Suara parau bunda peri mengakhiri perpisahan kami.

"Selamat tinggal bunda peri, baik-baik ya bundaa," kataku sembari melambaikan tangan ke arah bunda peri.

Bunda peri membalasnya. Sedih memang. Pertemuan singkat yang menakjubkan.

"Hati-hati sayang. Kelak, kamu akan melewati kehidupan dengan berbagai cobaan dalam hidup. Bunda akan merindukanmu," ujar bunda peri lirih.

Hampir tidak terdengar, suara bunda peri. Perlahan, aku memasuki tubuhku yang sebenarnya. Sulit memang, ada penolakan di sana. Demi melihat bunda peri yang terus memberi semangat kepadaku. Aku terus mencoba.

Tidak ada yang sia-sia. Penolakan itu tidak berlangsung lama. Pelan, ragaku terus masuk ke dalam tubuhku yang asli.

"Selamat tinggal bunda peri. Pa, ma, Jelita kembaliii."

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang