chapter 46

271 6 0
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang penuh dengan canda tawa. Akhirnya, aku bisa melihat rumah minimalis dengan dua lantai. Rumah yang di kelilingi pagar berwarna biru, menjulang tinggi.

Hanya ada satu gerbang berukuran satu mobil di depan. Yang di jaga oleh mang Ujang. Satpam rumah.

Tiiinnnn....

Bunyi klakson membuat mang Ujang berlari kecil membuka gerbang. Tersenyum ke arah kami. Yang terhalangi oleh kaca mobil.

Aku membuka jendela kaca mobil. Kepalaku melengos keluar. Mendapat sambutan berupa senyum tulus dari mang Ujang.

"Pagii mang, Jelita pulang," sapaku tak lupa melambaikan tangan kepada mang Ujang.

"Eehh, non Jelita udah sembuh." Mamang setengah berteriak.

Wajah semringahnya tak bisa di tutupi. Memang sih, aku tidak begitu sering bermain dengan mang Ujang. Namun, jika aku ada di rumah. Setidaknya, kondisi rumah tidak kosong.

Mama sama papa terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Jadilah rumah ini hanya di huni oleh bi Ijah, mang Dadang serta mang Ujang.

Setelah mobil berhenti, aku dan mama turun. Bi Ijah lari tergopoh-gopoh mendekat. Ia tampak riang. Seulas senyum manis melintas di bibirnya.

"Alhamdulillah, akhirnya non Jelita pulang juga," kata bi Ijah setelah berada di dekat kami.

Dengan cekatan bi Ijah langsung mengambil alih membawa tas dan satu koper kecil yang berisi baju kotorku.

"Iyaa bi. Udah rindu rumah," jawabku tersenyum.

"Bi, itu pakaian yang kotor tolong sekalian di cuciin ya bi. Biar lekas kering," ujar mama.

Bi Ijah menjawab dengan anggukan. Lalu, kembali menatapku dan melempar senyum kepadaku.

"Tuhan, terima kasih. Engkau hadirkan orang-orang tersayang di sekelilingku. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Setelah aku mengalami penyakit yang sampai sekarang aku belum tau penyakit apa yang bersemayam dalam tubuhku ini."

Mama sama papa memang belum menjelaskan penyakit yang ada dalam tubuhku saat ini. Mereka lebih memilih diam. Setiap kali di tanya. Selalu saja mengalihkan pembicaraan.

"Melihat Jelita sembuh, kami sudah bahagia." Begitulah jawaban mereka.

Ada beberapa kebiasaan yang tidak pernah papa dan mama lakukan selama ini. Muncul tiba-tiba setelah aku sakit. Namun, di sisi lain. Ada juga kebiasaan papa dan mama yang sering di lakukan kini menghilang. Ya, sikap cuek mereka selama ini.

"Selamat datang putri mama yang paling cantik, di kamar tercinta," tutur mama sembari membukakan pintu kamar.

Sejenak, aku dibuat takjub dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Ada yang berbeda dengan kamarku.

Cat dinding yang dulu pudar. Kini tampak seperti baru. Meskipun warnanya masih tetap sama, pink. Tampak boneka-boneka yang berjejer rapi.

Bi Ijah pasti sudah berusaha keras. Menata isi kamarku yang selalu berantakan. Selama ini, aku telah banyak merepotkan orang-orang yang ada di sekelilingku.

Menata selimut sendiri saja tidak becus. Setiap kali bangun, langsung deh buru-buru mandi. Tak perlu memikirkan keadaan tempat tidurku. Aku selalu berpikir. Kan ada bi Ijah yang siap merapikan nantinya.

Ahh, aku memang bodoh selama ini. Belum bisa bersikap dewasa. Selalu bermanja-manja dengan orang tua. Di tambah kondisi materi keluarga yang mendukung.

"Waaahhh, kamar Jelita kok makin cantik gini ma," kataku takjub.

Sepasang bola mataku menyapu seluruh sudut kamar. Benar-benar bersih, rapi dan wangi. Pantas saja, selama di rumah sakit. Aku selalu memikirkan kamar tercinta.

Jauh berbanding terbalik dengan ruangan pengap serba putih, tempat dimana aku di rawat.

"Iyaa dong. Ide mama," jawab mama bangga.

"Jangan percaya sayang. Semua ini idenya papa kok," timpal papa yang membuntuti kami.

"Ihhh, papa apa-apaan sih. Kan mama yang punya ide duluan. Papa yang ngasih instruksi kepada bi Ijah dan mang Dadang," protes mama tidak terima.

"Ya kan sama aja ma, papa yang nyuruh mereka. Buat bersihin kamar Jelita," papa tak mau kalah.

"Ya elaah pa. Anak kecil juga bisa kalau cuma nyuruh doang. Idenya itu yang susah."

"Pa, maa. Jangan kayak anak kecil deh. Jelita tau, ini semua ide papa dan mama," tuturku menengahi.

Mereka saling diam, mendengus sebal. Masih belum puas karena tidak mendapatkan siapa pemenang lomba debat barusan. Begitulah sifat papa dan mama yang sudah lama menghilang. Kini, hadir kembali.

Sifat kekanak-kanakan yang membuatku terhibur karena perdebatan diantara mereka. Namun, detik ini. Aku ingin menikmati kenyamanan kamar pribadiku.

Rasanya, sudah lama aku tidak menempati kamar ini. Setelah menaruh obat-obatan di meja samping ranjangku. Papa keluar dari kamar. Melengos kkeluar seperti kecewa karena perdebatan mereka barusan harus bubar dengan cara terpaksa.

"Sayang harus banyak istirahat. Jangan memaksakan diri dahulu. Biar lekas sembuh," ujar mama sembari membaringkan tubuhku.

Aku hanya tersenyum. Energiku telah kembali. Rasa lemas, yang sempat menghantuiku beberapa hari ini. Telah menghilang. Berganti kebahagiaan yang baru.

"Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberikan aku kesempatan untuk hidup," desisku lirih.

"Maa," aku memegang lengan mama yang hendak pergi meninggalkan kamar.

"Iyaa sayang, kenapa?" Jawab mama menghentikan langkahnya.

"Mukena sama sajadah Jelita masih ada kan?"

Entah dari mana pertanyaan itu muncul. Kenapa juga secara tiba-tiba. Tidak ada mendung. Angin tornado bahkan topan yang melintas. Pertanyaan yang terdengar konyol itu menari di bibirku.

Membuat mama mematung beberapa menit. Bahkan, aku juga kaget dengan apa yang ku ucapkan barusan.

"Masiih sayang. Nanti mama tanyakan kepada bi Ijah. Dimana di simpan," jawab mama ragu.

"Iya ma, Jelita ingin melaksanakan shalat seperti waktu kecil dulu ma."

Sepasang manik nan menawan berwarna hitam kecoklatan itu menatapku tajam. Entahlah, tatapan macam apa yang mama berikan kepadaku.

Seperti ada sebuah keraguan besar di sana. Memang sih, aku sudah jarang sekali shalat lima waktu. Terakhir, kelas tiga SMP. Setelah masuk ke SMA. Pergaulam yang membuatku sering tidak melaksanakan shalat lima waktu.

Selain itu, kesibukan papa dan mama yang tidak bisa setiap waktu mengontrol kegiatanku. Membuatku merasa bebas, dan berbuat sekehendak hati sendiri.

"Nanti mama suruh bi Ijah mencarikannya sayang. Bisr sekalian di cuci sama bi Ijah," jelas mama.

"Makasih ma, Jelita sayaang mama," aku memeluk erat tubuh mama.

Wangi mawar, semerbak menyelinap di lubanh hidungku. Kehangatan yang di berikan, membuatku merasa begitu nyaman ketika berada di dalam pelukannya.

"Iyaa sayang. Ya sudah, mama mau mandi dulu ya," ujar mama melepaskan pelukanku.

"Iyaa ma," jawabku dengan seulas senyum di sana.

Tubuh mama menghilang seiring dengan di tutupnya pintu kamarku. Aku menikmati suasana kamarku yang baru. Dan memandang boneka-boneka kesukaanku.

Tapi, ada dua boneka yang melunturkan kebahagiaan. Sebuah boneka keropi berwarna hijau, dan boneka yang memegang love berwarna pink di sana.

Boneka itu, adalah boneka kenangan. Setiap kali aku menatap kedua boneka itu. Seperti ada angin masa lalu yang hadir di hadapanku.

Menerbangkanku ke masa lalu. Memungut kembali setiap kenangan yang pernah ku lalui bersamanya. Namun sayang, dia telah pergi untuk selamanya. Tidak akan pernah kembali menemuiku sampai kapanpun.

"Tuhan, jaga Fadil di sana. Aku sangat menyayanginya," rintihku.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang