chapter 37

239 5 0
                                    

Sebuah ruangan serba putih, menantikan kehadiran mereka, bunda peri dan Jelita. Bunda peri, membawa raga Jelita ke dalam sebuah ruangan. Sepasang bola mata hitam nan memendar itu masih saja lekat. Belum terbuka.

Bunda peri menatap wajah yang ada di hadapannya itu. Tersenyum tipis ke arahnya. Bunda peri tau, sebentar lagi ia akan berpisah dengan Jelita. Ada jutaan jarak yang memisahkan raga mereka. Ratusan meter dinding yang tinggi lagi tebal. Memisahkan dunia mereka.

Bunda peri menahan kristal bening itu. Agar tetap tersimpan di ssarangnya. Tidak beruraian jatuh ke lantai keramik berwarna putih yang mengilap. Bunda peri tidak boleh terlihat cengeng di hadapan Jelita. Ia harus tetap kuat. Meski perpisahan tidak dapat dihindari lagi.

***

"Jelita..... sekarang bukalah matamu, sayang," kata bunda peri lembut.

Suara itu menyejukkan kalbu. Andai aku tau ini perpisahan terakhir. Aku akan menangisi perpisahan ini. Seandainya takdir berbaik hati memberi tau ini adalah pertemuan kami untuk terakhir kalinya. Aku akan memeluk erat bunda peri.

Meski terkadang, sikap bunda peri begitu menyebalkan. Aku sangat menyayangi bunda peri. Takdir begitu bijak. Rapat menyembunyikan perpisahan kami.

Aku membuka kedua bola mataku, perlahan. Lamat-lamat tampak sebuah cahaya bola lampu yang memendar sedikit redup, menyapaku. Setelah kedua bola mataku terbuka lebar. Aku menyapu bersih isi ruangan.

"Ruangan apa ini?" Gumamku dalam hati.

Mataku menyapu seluruh isi ruangan. Ruangan yang bercat serba putih. Tidak ada warna lain, hanya putih. Seolah-olah melambangkan kesucian pemilik ruangan ini. Di atas, ada sepasang bola lampu yang memendarkan cahaya. Tidak terlalu terang, dan juga tidak terlalu gelap. Enak di pandang.

Tidak puas menatap langit-langit ruangan. Aku mengalihkan pandangan. Menatap isi ruangan lebih detail lagi. Sebuah kasur dengan sprei berwarna putih bersih. Diatasnya terbaring sosok dengan tubuhnya yang penuh balutan selang. Selang yang menghubungkan antara tubuhnya dengan tabung-tabung, botol putih entah apa itu, aku juga tidak tau.

Dan beberapa bagian selang, terkoneksi langsung dengan mesin berteknologi canggih. Seperti layaknya monitor televisi. Namun, di sana bukan gambar atau video selebriti yang ditayangkan. Melainkan gambar garis-garis yang berwarna hijau. Garis yang terkadang berjalan naik-turun. Terkadang sedikit datar. Yang membuat sosok yang tertidur di pembaringan itu mengalami sesak napas.

Di samping ranjang tersebut. Seorang perempuan sedang duduk di kursi. Sembari menatap sosok yang terbaring lemah, dengan balutan selang yang mengerubungi tubuhnya. Perempuan itu menatap nanar, sosok yang terbaring. Mungkin anaknya, cucunya atau hanya sekedar saudaranya saja.

Wajahnya yang tampak kusut, menggambarkan betapa lelahnya perempuan itu menunggu. Menunggu sosok yang ada di hadapannya. Untuk sekedar membuka mata, dan menyapanya. Perempuan itu terlalu lelah. Matanya sembab, membengkak. Mungkin sedih, meratapi sosok yang terbaring lemah itu.

Tit....

Tit....

Tit....

Berulang kali alat yang ada di samping pembaringan, mendendangkan irama yang sama. Seperti memberi tanda kehidupan bagi sang pasien. Mataku kian menyelidik siapa yang sedang terbaring itu.

Wajahnya yang pucat pasi. Napasnya yang tidak beraturan lagi. Meskipun sudah di bantu dengan oksigen. Aku berjalan mendekat. Semakin dekat dengan jasad itu. Perempuan yang ada di sampingnya tidak bergeming. Menelusuri alam kekecewaan dan kepedihan.

"Jelita?" Batinku dalam hati.

Ya, aku menangkap makna dari kalimat bunda peri tadi. Penjelasan tentang jasad yang asli. Aku tau, jasad yang sedang terbaring lemah ini adalah diriku sendiri. Tubuhku lemas, aku memegang sisi ranjang yang berwarna putih itu. Mencari pegangan.

Takut kalau kakiku tidak sanggup lagi menjadi topangan tubuhku yang berisi. Air mataku mengalir. Membasahi sungai kecil yang muncul di dekat lesung pipiku. Aku tidak sanggup lagi menahannya.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang