chapter 33

300 5 0
                                    

Jutaan gemintang menyampaikan salam perpisahan kepada penduduk bumi. Meninggalkan bintang Sirius yang masih setia menemani sang rembulan.

Berulang kali, aku menguap. Perjalanan hari ini sungguh melelahkan bagiku. Aku ingin menutup mata, meski sejenak. Berharap ada sejumput kebahagiaan yang akan menyambut pagiku.

Saat mentari menyelinap masuk dari balik bebukitan. Di saat, embun pagi menggelayut di atas dedaunan. Burung-burung berkicau riang. Bertengger di ranting pohon yang kokoh. Aku menginginkan semua kesedihan, luka lara, dan kenangan ini, akan segera berakhir. Berganti dengan kebahagiaan.

Selamat malam, semoga janji kebahagiaan benar adanya. Memberikan cahaya indah dalam hidupku. Aku lelah, menjalani perjalanan panjang yang mengikat hati ini. Harapanku tidak muluk-muluk takdir. Aku hanya menginginkan sepercik kebahagiaan. Tidak lebih.

Semoga mimpi indah. Rembulan, terangi aku dalam khayalan mimpi. Berikan sepercik cahaya penerangmu. Aku selalu percaya. Janji kebahagiaan akan datang kepadaku. Meski, aku tidak pernah tau. Kapan janji itu akan menyapaku. Good night, nice dream.

Sepasang bola mataku, meredup. Ragaku terbang, mengarungi setiap jengkal alam mimpi. Di sinilah segala hal bisa terwujud. Tak ada yang mustahil. Semoga ada kebahagiaan dalam mimpiku kali ini.

***

"Maafkan bunda peri, sayang. Bunda sungguh tidak bermaksud membuatmu seperti ini," kata bunda peri sembari menyelimuti tubuh Jelita dengan kain tebal.

Bola mata yang indah itu, menatap betapa damainya Jelita terlelap. Merajut mimpi-mimpinya. Sorot matanya, memancarkan cahaya penyesalan.

Lihatlah sosok wanita yang tertidur di bangku taman yang terbuat dari kayu. Dia adalah Jelita. Jelita yang selalu merindukan kasih sayang dan kebahagiaan dari orang-orang terkasihnya.

Perjalanan takdir yang begitu meneguhkan hati. Perempuan yang tampil polos, ternyata begitu tegar menjalani semuanya.

Bunda peri menatap Jelita, tak berkedip. Banyak hal yang ingin bunda peri ungkapkan kepada Jelita. Namun, terlanjur Jelita telah membencinya.

"Selamat tidur sayang. Bunda selalu sayang kepadamu," tutur bunda peri.

Malam terus beranjak matang. Menyisakan hening dan kesunyian. Sesekali terdengar suara burung hantu ber-uhu di kejauhan. Menyanyikan lagu termerdu dalam heningnya malam.

***

"Hoaaamm." Jelita masih mengantuk, pagi yang cerah.

Mentari menelusup masuk, menyapa penduduk bumi. Lewat celah-celah sempit dari balik deretan bukit, Mekar Sari, Dharmasraya. Menyajikan kebesaran Tuhan yang begitu luar biasa.

Pagi ini, hatiku terasa damai. Ada ketenangan di sana. Jiwaku tertata rapi. Hamparan pasir putih, terbentang di depan mata. Birunya lautan, memesona sejauh mata memandang. Suara ombak yang penuh irama, menenangkan hati yang sunyi.

Sepertinya, aku mengenal pemandangan ini. Pemandangan yang menakjubkan. Aku duduk di antara hamparan pasir putih. Yang menggodaku untuk menyentuhnya. Tanganku menelungkup, membelai lembut lututku.

Sepasang bola mataku yang hitam memendar. Menikmati pesona laut yang membiru. Perahu-perahu nelayan, tampak kembali dari tengah lautan. Wajah-wajah letih menghias di perahu. Membawa lauk pauk, untuk kebutuhan perut manusia.

Sejenak, semua pemandangan ini berhasil melenyapkan semua kenangan pahitku. Kesedihanku sirna seketika. Berganti senyum manis yang merekah di bibir mungilku. Janji kebahagiaan itu, akhirnya datang. Memberikan senyuman terindah dalam relung hati.

Ingin rasanya, aku menghentikan waktu. Aku ingin lebih lama menikmati pesona kebahagiaan ini.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang