chapter 28

325 6 0
                                    

Aku terus mengamati sepasang kekasih yang tengah merajut kisah asmara mereka. Kebersamaan mereka, diselingi oleh tawa. Sesekali, sang kekasih mencubit mesra hidung ceweknya.

Aku jadi ingat seseorang. Dulu, aku juga sering mendapat cubitan mesra seperti itu. Cubitan yang tepat mengenai hidungku yang pesek.

Aku merindukan cubitan itu. Sungguh aku merindukannya. Hatiku berkecamuk. Bunda peri, memilih beranjak. Menjauh, membiarkanku sendirian mengamati kemesraan sepasang kekasih yang duduk di bangku taman.

Lihatlah, mereka memandang langit. Tampak awan Nimbostratus di atas sana. Awan yang sangat aku benci. Awan yang membuat hidupku hancur berantakan. Harus kehilangan sang kekasih.

Mereka begitu menikmati bunga-bunga asmara yang tengah bersemi di hati mereka. Aku hanya bisa memandang dari jarak yang lumayan jauh.

Entah kenapa, hatiku terasa begitu dekat dengan taman ini. Suasana ini, awan yang menggelayut di langit senja kali ini. Benakku terus memutar memori otakku.

Yang kian lama, kian meringsut kapasitas penyimpanannya. Berharap, ada sesuatu kejadian istimewa yang dapat ku putar kembali.

Aku terus berusaha, namun gagal. Nihil. Tidak menemukan hasil apa pun di sana. Hanya buaian rindu yang kosong.

Ciiitttttttttt.......

Tinnnnnnn........

Tinnnnnn..........

Hanya dalam hitungan detik, sebuah mobil sedan berwarna putih melaju kencang. Tidak terkendali. Sedan tersebut keluar dari aspal. Mengarah ke taman.

Tak ada yang mengira. Semuanya terjadi begitu cepat. Tak ada yang mampu menghindar. Bunyi klakson itu sudah terlambat. Terlambat menyadarkan sepasang kekasih yang tengah memadu kisah asmara mereka.

"Awas Jelitaaa!!!" Teriak si cowok kepada ceweknya.

Sang cowok mendorong tubuh kekasihnya itu hingga terlempar. Sedan itu tepat mengarah ke bangku taman. Dimana sepasang kekasih itu tengah menikmati senja dalam balutan kisah asmara.

"Jelita?" Aku seolah bertanya kepada diriku sendiri.

Kenapa. Kenapa cowok itu menyebut namaku. Kenapa Jelita disebutnya? Siapa laki-laki yang duduk di bangku taman itu? Kenapa dia memanggil namaku. Apakah ada Jelita yang lain di belahan muka bumi ini.

Braakkkkkk......

Sedan itu menabrak laki-laki yang mendorong tubuh perempuan yang dia panggil Jelita. Tubuhnya terseret oleh sedan putih itu. Hingga akhirnya, tubuh itu hancur berkeping-keping.

Menabrak pohon. Tubuhnya terhimpit oleh sedan putih itu. Darah segar bercucuran. Menghambur tak tentu arah. Tubuhnya hancur. Tidak berbentuk lagi.

"Sayang!!!.... sayang!! Huhuhu." Perempuan itu menangis tersedu.

Meratapi kepergian sang kekasih. Hatiku juga ikut kelu. Aku merasakan kepedihan yang amat dalam.

Tess...

Tes...

Aku tidak sadar, kristal bening itu keluar dari sarangnya. Perempuan itu menghambur kearah tubuh kekasihnya. Dengan sedikit tergopoh, karena kakinya sakit akibat dorongan tadi.

Perempuan itu tetap berjuang. Mendekat kearah kekasihnya. Memandang darah segar yang terus membanjiri sekitar pohon keramat itu.

Pohon yang telah menjadi perantara, mencabut nyawa sang kekasih.

"Fadil... kenapa kamu tega pergi meninggalkanku?" Katanya tergugu.

Fadil? Fadil siapa? Kenapa perempuan itu menyebut nama Fadil. Kepalaku terasa pusing. Tuhan, apa mungkin. Apakah ini?

"Aaaaaa!!!"

"Aku tidak sanggup menyaksikan kenangan buruk ini, Tuhan. Kenapa!!!! Kenapa Engkau memutarnya kembali? Kenapa hahh!!!!" Teriakku.

Aku sadar sekarang. Kesadaranku telah kembali. Aku tau sekarang. Kenapa bunda menangis, meneteskan air matanya.

Bunda, bunda tega kepadaku. Dengan teganya, bunda membawaku menelusuri masa lalu. Ini adalah taman yang membuat hidupku hancur. Awan Nimbostratus yang sangat aku benci.

"Kenapaaa!!!"

"Kenapa harus Jelita, Tuhan!!!" Kenapa? Apa takdir belum puas, telah menyakitiku selama ini? Haahh! Beginikah alam menggoreskan luka perih yang sedemikian parah kepadaku. Jawab Tuhan!! Jawabblah pertanyaanku ini!!!" Aku semakin tidak terkendali.

Kenangan ini, kenangan ini sungguh membuat hatiku terasa pilu. Rentetan peristiwa yang membuat hidupku hancur, berkeping-keping. Tidak memiliki masa depan yang jelas.

Berulang kali, aku mencoba melupakan kenangan ini. Tentang taman mawar yang indah ini. Tentang senja. Tentang awan Nimbostratus. Namun, kenapa Engkau sengaja menghadirkan semua ini untukku.

Mengembalikan kenangan pahiy ini, Tuhan. Beginikah keadilanmu, kepada sosok lemah sepertiku.

Tubuhku jatuh tersungkur. Air mataku berderai. Bunda peri entah pergi kemana. Aku tidak peduli. Bunda peri bukanlah sosok yang baik. Awalnya menghadirkan kebahagiaan untukku. Tetap saja, berujung dengan kepedihan seperti ini.

Aku benci, benci dengan kenangan. Benci dengan awan Nimbostratus. Benci taman mawar. Benci dengan senja. Dan yang paling ku benci saat ini adalah bunda peri.

Ini semua, ulah bunda peri. Bunda peri yang membawaku ke dalam kenangan ini. Memutarnya kembali, seolah aku sedang menonton film dengan kacamata 3D.

"Aku benci semua inii!!!!" Teriakku kalap.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang