chapter 27

322 7 0
                                    

"Jelita, bangun sayang. Kita sudah sampai." Suara lembut bunda peri menelusup masuk lewat celah lubang telingaku.

Berat rasanya membuka sepasang bola mata ini. Rasa penasaran yang kian membuncah di hati. Memacu semangatku, untuk bangun dari alam mimpi.

"Ini dimana bunda?" Tanyaku sambil mengucek mataku.

"Coba Jelita perhatikan baik-baik tempat ini." Ujar bunda.

Aku belum sepenuhnya sadar dari alam mimpi. Ragaku seakan tertinggal di suatu tempat. Perlahan, sepasang bola mataku yang hitam.

Memendarkan cahaya penerang. Aku menatap sekeliling. Mengamati tempat ini. Tempat dimana kami berdiri saat ini.

"Taman," gumamku dalam hati.

Bunga mawar tampak bermekaran. Begitu indah, memesona. Berhiaskan bunga-bunga indah lainnya. Beberapa pengunjung tampak hilir mudik di sekitar taman.

"Sepertinya, aku mengenal taman ini," batinku.

Hanya diam. Kesunyian menghiasi ruang udara yang kosong. Bunda peri juga diam. Enggan berbicara kepadaku. Mungkin bunda peri sengaja melakukan hal itu.

Membiarkan diri ini, untuk mengenang. Mengenang tempat ini. Tempat yang sangat familiar sekali dalam memoriku. Bahkan, taman ini, begitu dekat dengan kenanganku.

Sel-sel saraf otakku mulai bekerja keras mencari dan memutar kembali sebuah kenangan. Namun, aku tidak menemukannya.

Hatiku semakin bergemuruh. Aku benar-benar merasa dekat dengan taman ini. Tapi... tapi kenapa aku tidak bisa mengingatnya.

"Tuhan, ada apa ini? Kenapa memoriku tiba-tiba hancur berkeping-keping, berantakan. Menyisakan ruang penasaran yang kian mendalam," hatiku protes.

Aku memegang kepalaku yang terasa pusing. Sel-sel saraf otakku terlalu lelah bekerja. Tidak mampu lagi memutar kenangan tentang taman ini.

Aku menyerah, pasrah. Membiarkan rasa penasaran dan gemuruh yang kian membara di hati ini. Aku hanya bisa menggenggam erat jemariku. Hanya itu yang bisa ku lakukan.

Aku hanya bisa menunggu, penjelasan dari bunda peri. Akan tetapi, bunda peri tak kunjung menjelaskan juga. Tentang taman ini.

"Sayang, kita duduk di bangku taman yuckk. Aku capek." Kata seorang wanita diseberang sana.

Aku mendengar jelas setiap kalimat yang mereka ucapkan. Sepasang kekasih itu, tengah memadu asmara. Merengkuh kebahagiaan.

Tenggelam dalam buaian kisah cinta. Aku memandang lekat sepasang kekasih itu. Yang perempuan, tampak manja. Tangannya memeluk erat sang kekasih.

Tidak mau kehilangan kekasihnya, barang sedetik pun. Aku terus menatap sepasang kekasih itu. Mereka sungguh bahagia. Kisah cinta, mereka lewati dengan hal-hal yang berbau romantis.

Aku jadi ingat seseorang. Seseorang yang sangat aku sayangi. Namun sayang, kini sosok yang sangat aku sayangi itu telah pergi. Pergi untuk selamanya.

"Jelita kenal dengan sepasang kekasih itu?" Tanya bunda memecah keheningan diantara kami.

"Nggak bunda," jawabku menggelengkan kepala.

Aku memang tidak mengenal sepasang kekasih yang tengah merajut asmara itu. Karena, aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah mereka.

Sorot mata bunda peri, tampak menyembunyikan sesuatu di sana. Aku tidak tau, kenapa wajah bunda peri menjadi sedih seperti itu.

"Bunda kok sedih?"

"Tidak sayang, bunda hanya kasihan melihat perempuan yang duduk di bangku taman bersama kekasihnya itu." Jawab bunda.

"Loh kok? Mereka kan bahagia bunda peri. Dari mana coba, kalau yang perempuan itu sedih atau perlu dikasihani."

"Lihatlah, mereka tertawa, senyum-senyum kebahagiaan begitu lepas mengudara bunda peri," sambungku.

"Kebahagiaan mereka hanya sesaat Jelita. Sesaat Jelita." Kristal bening itu mencair.

Inilah kali pertama Jelita menatap bunda peri yang tengah menangis. Mengeluarkan air matanya. Wajah sedih itu, semakin terlihat jelas.

"Bunda kenapa malah menangis?"

"Bunda. Bunda... bunda tidak tega sayang. Melihat perpisahan tragis mereka. Bunda.. bunda tidak sanggup melihatnya." Tutur bunda sesenggukan.

Selama ini, bunda peri yang menenangkanku ketika aku tengah bersedih. Di saat bunda peri yang bersedih. Aku malah ikutan bersedih. Entah kenapa, perasaanku semakin kacau.

Tak ada kebahagiaan di dalam sana. Padahal, aku sangat menyukai bunga mawar. Di depan sana, bunga mawar tengah bermekaran. Namun, hasratku untuk memiliki bunga mawar tersebut pudar.

Lenyap, tanpa meninggalkan jejak setitik pun. Dan bunda peri semakin tergugu meratapi kejadian yang tidak aku ketahui. Aku hanya bisa menunggu.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang