Ternyata, ruangan yang tadinya gelap gulita. Seolah menjadi ruang penyiksaan untuk-ku. Sekarang, semua itu berubah tiga ratus enam puluh derajat. Ruangan ini memberikan banyak pelajaran hidup kepadaku.
Ya, lewat bunda peri. Dengan tutur katanya yang lemah lembut. Bunda peri seakan menghipnotis pikiranku. Membuatku terbuai dengan semua yang dikatakan oleh bunda peri.
Bagiku, bunda peri adalah sosok malaikat. Dengan kepakan sayap kecilnya yang mengembang. Bunda peri, malaikat penerang jiwaku.
Jiwa yang tadinya sunyi, merasa sendiri. Kini, aku tak lagi merasakan kesendirian itu. Ada bunda peri di sini. Membawa kalimat yang menyejukkan hati.
Nasihatnya menusuk ke dalam relung hatiku. Membuat roh ini tersadar dari alam imajinasinya. Setelah sekian lama terbenam. Kini, hatiku telah kembali.
Membawa kenangan, mimpi, dan yang paling penting adalah sikap welas asih. Bunda mengajarkan arti kebahagiaan, kepadaku.
Bahagia, bukan hanya di dapat dari harta kekayaan yang kita miliki. Namun, masih banyak lagi kebahagiaan yang mungkin kita melalaikannya selama ini.
"Bunda? Lalu bagaimana dengan kebahagiaan di level ketiga?" Rengek-ku kepada bunda peri.
"Jelita seringkali merasakan kebahagiaan di level ketiga ini." Terang bunda sembari memamerkan senyum manisnya.
"Benarkah itu bunda peri?" Tanyaku tidak percaya.
"Iya sayang. Jelita mungkin sering merasakan kebahagiaan di level ketiga ini. Seperti manusia lain pada umumnya."
"Kebahagiaan yang seperti apa itu bunda?" Aku semakin penasaran.
Sepasang bola mataku yang hitam membulat. Menatap tajam kedua bola matanya yang memancarkan sinar cahaya yang penuh kelembutan.
Sungguh, andai aku diberi kesempatan untuk memilih seorang ibu di dunia ini. Maka, bunda perilah yang akan menjadi ibu terbaikku sepanjang hayat. Akan tetapi, ini bukanlah negeri dongeng.
Tak ada khayalan yang bisa terwujud di sini. Karena duniaku, adalah dunia kenyataan, bukan imajinasi.
"Kebahagiaan yang berada pada tingkat atau level ketiga adalah rasa kagum, sayang. Jelita pernah memilikinya?" Tanya bunda peri.
"Emm, rasa kagum yang seperti apa bunda?" Aku balik bertanya.
Kurang mengerti makna kagum yang di maksud oleh bunda peri ditujukan kepada siapa. Hening sejenak. Menyisakan deru napas yang kian memburu secara perlahan.
Sejenak, kesunyian datang menghampiri. Memberikan jarak diantara kami. Aku masih bersabar menunggu. Berasabar mendengar penjelesan dari bunda selanjutnya.
"Semua rasa kagum yang pernah Jelita miliki dan rasakan. Entah itu rasa kagum dengan seseorang, benda atau bahkan hewan piaraan sekali pun." Jelas bunda peri.
"Pernah bunda, Jelita pernah mempunyai rasa kagum itu," jawabku datar.
Sepasang bola mataku menerawang tempat yang jauh. Ribuan kilometer jaraknya dari tempat-ku menikmati semilir angin lembut kali ini.
Bayang-bayang dirinya kembali melintas dalam benakku. Kenapa selalu dirinya, dirinya dan dirinya yang selalu menghiasi saraf-saraf otakku.
Bukankah, masih banyak kenangan indah yang patut ku kenang. Bukan sebuah kenangan indah bersamanya. Yang ketika diri ini mengenangnya, hanya meninggalkan luka perih.
Luka yang menyayat hati ini. Sembilu pilu terus menerus menghujam dalam relung hati. Ketika aku mengenang, sebuah kisah nan indah itu.
Aku benci, benci sekali dengan kenangan. Jika kenangan hanya membuat perasaan ini terus teriksa, tersakiti. Kenapa harus ada kenangan yang melintas di pikiranku.
Kenapa harus kenangan bersamanya. Dia telah pergi untuk selamanya. Kenapa harus dia, dia dan dia lagi.
Aku bertarung melawan hatiku sendiri. Ragaku memberontak. Menyalahkan hati yang terus mengenangnya. Menyalahkan otak, yang terus memutar memori terindah yang pernah ku lewati bersamanya, kekasihku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dalam Doa
SpiritualMasa lalu? Menyedihkan? Menyenangkan? Semua insan pasti memiliki masa-masa indah dan masa paling menyakitkan dalam hidup ini. Begitulah takdir menggoreskan tinta kehidupannya. Terkadang, kenangan membawa kita menyelami masa lalu. Entah itu yang men...