chapter 39

226 6 0
                                    

"Iya bunda, Jelita pengen memeluk mama. Jelita kangen," rengekku pada bunda peri.

Berharap bunda peri mau membantuku kali ini. Bunda peri menundukkan wajahnya. Mengalihkan pandangan. Tidak berani menatap sepasang bola mataku.

Aku tau, bunda peri sedih. Aku tau, aku selalu merepotkan orang-orang yang ada di sekelilingku. Aku selalu ingin dimanja. Selalu menginginkan menjadi pusat perhatian. Semuanya, aku tidak ingin terabaikan. Begitulah cara hidupku selama ini.

"Jelita sabar dulu ya sayang. Jelita pasti kembali. Bunda akan membantu Jelita." Tutur bunda lembut.

Bunda peri mengusap helaian rambutku dengan penuh kelembutan. Di depan sana, mama masih membelai lembut pipi sosok pucat, yang terbaring lemah itu. Entah sampai kapan, sosok itu akan terlelap.

***

"Sebenarnya, putri saya sakit apa dok?" Tanya seorang lelaki berkacamata itu.

Wajahnya tampak cemas, letih, penasaran, semua berbaur menjadi satu.

"Papa," kataku lirih.

"Itu suara papa, bunda peri." Ucapku lebih bersemangat.

"Yang mana?" Bunda peri memastikan.

Bunda peri melongokkan wajahnya keluar kamar. Mencari seseorang di sana. Namun, bunda peri tidak menemukan siapa-siapa di lorong rumah sakit itu.

"Suara yang tadi bunda peri. Jelita yakin, itu suara papa." Kataku sembari beranjak hendak menyusul papa.

Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang tampak lengang. Hanya ada beberapa suster yang sibuk berlalu lalang. Mungkin, sedang bertugas memeriksa pasien di kamar inapnya.

Bunda peri terus mengekor di belakang. Aku terus mencari, menajamkan pendengaranku. Agar bisa menangkap suara khas papa yang rada sedikit berat itu.

"Sayang, kita mau kemana?" Protes bunda peri di belakang.

Aku tidak menjawab. Terus fokus, mencari sumber suara itu. Aku yakin, sangat yakin bahwa suara itu adalah suara papa. Aku terus berjalan. Tidak memperdulikan omelan bunda peri di belakang. Toh, bunda peri tidak banyak tau tentang keluargaku. Bunda peri, hanyalah malaikat yang hadir dalam hitungan jam di kehidupanku.

"Silahkan duduk dulu pak. Tidak baik jika saya menjelaskan penyakit putri bapak dengan tergesa-gesa seperti ini." Jawab suara lain.

Papa tidak sendiri. Papa pasti sedang berbincang dengan orang lain. Di salah satu ruangan rumah sakit ini. Di belakang, bunda peri kian jauh tertinggal. Aku semakin mempercepat langkah. Takut kehilangan suara papa.

"Baiklah dok, sebelumnya terima kasih. Sudah dipersilahkan duduk. Saya sangat cemas, dok."

Lagi, itu suara papa, batin-ku. Aku berhenti di depan sebuah pintu ruangan. Bunda peri terengah-engah mengejarku. Sepertinya, kekuatan bunda peri tidak berlaku di dunia nyata ini. Lihatlah, sayap bunda peri perlahan menghilang. Lenyap dari tubuhnya.

"Jadi, putri saya sakit apa dok?" Tanya papa ragu.

Aku masuk ke dalam ruangan. Ragaku bebas, melewati pintu kaca itu. Kini, aku sudah bisa menatap lekat wajah papa. Wajah yang sangat aku rindukan itu tampak semakin menua. Banyak hal yang papa pikirkan. Pekerjaan, dan sekarang, harus memikirkan diriku yang terbaring lemah dengan bantuan selang-selang yang menusuk ke dalam setiap bagian tubuhku.

"Begini pak, sebenarnya penyakit ini tidak terlalu berbahaya...."

"Tidak berbahaya bagaimana dok? Buktinya, putri saya belum sadar sampai detik ini." Papa memotong pembicaraan seorang dokter.

Yang berpakaian serba putih. Yang kini, duduk di hadapan papa. Papa terlihat begitu cemas. Aku sadar sekarang. Papa sangat menyayangiku. Mungkin, selama ini papa hanya korban dari dunia kantornya. Sehingga tidak bisa memberikan kasih sayang lebih kepadaku.

Aku telah salah menilai papa.

"Tuhan, maafin Jelita," tuturku lirih.

Kristal bening menetes, membasahi lantai. Membuat dokter ganteng tersebut merasa terganggu dengan kehadiranku. Ia celingukan seolah mencari sesuatu yang abstrak di sana.

"Apa dokter ini merasakan kehadiranku sekarang?" Batinku.

Muncul ide cemerlang dalam benakku. Tiba-tiba saja, ide itu melintas dalam benakku. Aku harus berteriak. Supaya, dokter muda ini mendengar dan mengetahui keberadaanku.

"Sssssstttt," bunda peri menarik lenganku.

Pergi menjauh dari mereka. Bunda peri langsung membawaku ke dekat pintu keluar. Entah apa yang ada dalam pikiran bunda peri kali ini. Sehingga tidak membiarkanku lebih jauh memberi kode kepada dokter muda yang super ganteng tersebut.

"Jangan sayang, itu hanya akan membahayakan keberadaan kita nanti," bunda peri menasehati.

"Bahaya? Bukankah kalau dokter itu tau, akan jauh lebih baik bunda? Dokter itu kan bisa menolong, Jelita. Agar bisa kembali lagi ke jasad Jelita yang sebenarnya." Kataku bingung.

"Tidak sayang, dokter itu hanya akan mengira kamu adalah jin jahat yang menyerupai pasiennya. Kehadiranmu akan membuat dokter itu murka. Dan memusnahkan kita nanti." Jelas bunda peri panjang lebar.

"Lohh kok?" Aku masih bingung.

"Sayang, ingat!!. Dunia kita berbeda dengan dunia mereka saat ini. Bersabarlah. Hanya itu yang bisa kamu lakukan. Jika ingin kembali ke jasadmu yang asli itu."

Aku hanya bisa mengangguk, pasrah. Bunda peri, pasti lebih tau tentang masalah ini. Karena, aku hanyalah gadis manja yang tidak tau apa-apa. Toh, semua keinginanku juga dituruti, tinggal bilang mau minta ini dan itu. Papa pasti akan mengabulkan.

"Sudah jangan sedih begitu. Pasti ada jalan." Bunda peri menyemangati.

Lengkungan tipis itu, kembali menghiasi bibir mungil bunda peri. Membuat hatiku merasa jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Ya, aku harus tetap bersabar menunggu permainan takdir ini sampai tepat pada ujungnya. Aku tidak boleh putus asa, menyerah sampai di sini. Aku ingin memeluk mama dan papaku lagi.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang