chapter 44

274 7 0
                                    

"Ma, kapan Jelita pulang?" Keluhku sembari membuka mulut menerima suapan bubur terakhir dari mama.

"Aaaaa" ucap mama.

Pagi ini, mama memperlakukanku seperti anak kecil. Perutku sudah bosan. Selama satu minggu, setiap paginya harus menelan bubur. Yang jelas-jelas bukan menu favoritku. Mama selalu menasehati. Itu semua demi kesembuhanku. Agar aku bisa lekas pulang. Dan beraktifitas seperti biasa.

"Maaa," rengekku yang tidak mendapay jawaban dari mama.

"Minum dulu sayang. Biar nggak keselek," mama menyodorkan segelas air putih kepadaku.

Glekkk... glekk... glekk...

Aku menenggak habis segelas air putih yang mama berikan kepadaku. Lantas, menaruh gelas tersebut ke atas meja yang ada di samping ranjang. Dengan sigap, mama segera meraih gelas itu. Tidak mau membiarkanku banyak bergerak. Aku hanya bisa pasrah.

Padahal, pagi ini aku sudah merasa baikan. Benar-benar terasa sehat dan bugar seperti sedia kala. Namun, tetap saja mama ngotot.

Tidak tega, membiarkanku banyak bergerak. Lagi-lagi, itu semua demi kesehatanku. Aku hanya bisa mendengus sebal.

Sejenak, aku memandang ke arah luar. Tirai jendela itu setengah terbuka. Membiarkan cahaya mentari pagi menelusup masuk ke dalam kamar, tempat dimana aku di rawat.

Kata pak dokter yang ganteng itu. Supaya aku mendapat energi tambahan dari cahaya matahari. Biat lekas sembuh.

Tak berselang lama, mama bangkit. Membawa mangkuk dan gelas kotor, bekas sarapanku tadi. Kemudian, punggung mama menghilang di balik pintu yang kemudian tertutup rapat.

Aku sebal, mama belum sempat menjawab pertanyaanku tadi. Apa mama sengaja tidak menjawabnya. Apa aku belum di perbolehkan pulang ke rumah. Dan menjalani rawat jalan saja.

Ahhh, aku segera menepiskan berbagai keribetan yang muncul dalam benakku. Sepasang manik mataku kembali mengarah ke jendela.

Mentari pagi, tampak tersenyum. Seolah, memberi kecupan mesra untukku pagi ini. Meski aku tidak bisa menatapnya secara langsung. Aku cukup senang. Bisa melihat mentari pagi lagi.

Aku merindukan awan sirius. Awan lembut nan memesona itu. Sudah lama rasanya aku tidak menatap awan kesukaanku itu.

Awan yang membawa kebahagiaan untukku. Terakhir kali aku melihatnyaa......

Benakku berhenti berpikir sejenak. Bayang-bayang dunia keabadiaan kembali melintas di benakku. Mengisi ruang kosong di sana.

Terlintas sosok yang tidak asing lagi bagiku. Sosok yang memiliki sepasang sayap indah. Dengan berbagai keajaiban yang mampu ia ciptakan.

Sosok dengan kesabaran yang luar biasa ketika meladeni tingkah ke kanak-kanakan ku.

"Bunda periii," desisku lirih.

Dalam hitungan detik, tatapanku menjadi kosong. Ada rasa kehilangan di hatiku. Ini bukan kehilangan seperti biasanya. Sedikit ada ruang kosong di dalam sana.

"Bunda peri, Jelita rinduuu," air mataku menetes.

Kenapa? Kenapa hati di ciptakan sedemikian rupa. Kala kita dekat dengan seseorang. Kita selalu merasa kesal, benci dan lain sebagainya itu.

Namun, setelah ruang dan waktu memisahkan. Ada secercah rasa rindu yang menyelimuti. Rindu yang terus menggelayut indah di hati. Kian lama rindu itu tumbuh bak tersirami pupuk setiap hari.

Dulu, ketika masih bersama bunda peri. Ada rasa kesal, ketika bunda peri membuatku merasa jenuh, bosan.

Kini, aku merasakan kehilangan. Setelah meninggalkan alam keabadiaan.

Dulu, ketika aku berpisah dengan jasadku ini. Aku selalu merindukan mama dan papa. Rasa rindu itu hanya sebentar. Setelah beberapa hari siuman. Papa kembali sibuk dengan aktifitasnya.

Beruntung, masih ada mama yang selalu setia menemani. Akan tetapi, sepertinya mama juga sudah bosan setiap hari berada di ruangan pengap ini.

Mememani diriku yang masih di rawat. Mama pasti kangen dengan butik-butiknya. Rindu dengan teman-teman arisan dan lain sebagainya itu.

"Tuhan, aku cepat pergi dari ruangan pengap serba putih ini. Aku ingin kuliah lagi, bertemu dengan teman-temanku. Yahh, meskipun aku tak banyak memiliki teman di bangku kuliah."

***

"Sayang...sayang," panggil mama.

Duug...

"Aduuhh," rintihku.

"Mama apa-apaan sih?" Protesku kepada mama.

Memang sih, mama menepuk bahuku tidak terlalu keras. Tapi, cukup membuatku terkejut. Untung saja, aku tidak mengidap penyakit jantung. Kalau iya, mungkin aku sudah benar-benar pergi untuk selamanya.

"Habisnya putri mama ngelamun sih. Ngelamunin apa sih sayang?" Tanya mama bak detektif.

"Nggak kokk ma," jawabku cetus. Sebal dengan tingkah mama barusan.

"Hayoo, ngelamunin pacar yaa?" Ledek mama setengah menyelidiki.

"Ihh, mama apaan sih. Jelita sedang jomblo taukk," jawabku sembari mendorong bahu mama.

"Masak iya, anak mama yang cantik bak bidadari ini jomblo sih?" Selidik mama.

Kali ini, pandangan mama menyapu bersih seluruh bagian tubuhku. Seolah ada sesuatu yang aneh di tubuhku.

"Iyaa mamahku yang cantiikkkk. Putri mama ini sedang jomblo kokk."

Suasana hening sejenak. Pertanyaan mama tadi, membuat benakku menjelajah ruang waktu. Bayang-bayang masa lalu itu kembali hadir.

Fadil, terlintas wajahnya yang teduh dalam benakku. Perhatiannya, masih terekam dengan jelas dalam memori kecilku.

"Ma, Fadil apa kabar di sana?" Tanyaku dengan mata yang berkaca.

Mama yang tadinya memasang wajah ceria ala anak-anak. Kini berubah seratus delapan puluh derajat.

Wajah mama sedikit pucat. Entahlah, kenapa malah mama yang merasa sangat ketakutan. Jangan-jangan mama parno lagi dengan hantunya Fadil.

"Kamu masih mengingatnya, sayang?" Mama balik bertanya.

"Mana mungkin Jelita melupakannya secepat kilat maa," jawabku parau.

Tenggorokanku terasa begitu kering. Tiba-tiba saja, musim kemarau melanda tenggorokanku. Setiap kali aku mengingat nama itu. Pikiranku mmelayang. Terbang jauh. Menyusuri alam kosong yang tak berpenghuni.

"Jelita kangen sama Fadil ma," kataku lirih di samping telinga mama.

Mama langsung memelukku erat. Erat sekali. Aku sesak napas di buatnya. Beruntung, dokter yang tampan itu datang menyelamatkanku dari pelukan maut mama.

Dan dokter tampan itu juga berhasil seratus persen mengganggu acara curhat antara seorang putri manja kepada mamanya.

Dokter tampan itu memeriksa kondisiku, setelah mendapat izin dari mama. Setelah memeriksa keadaanku pagi ini.

Tampak seulas senyum dari bibir dokter yang tampannya nggak ketulungan itu. Lantas, ia meminta mama untuk menemuinya di ruang khususnya.

Semoga saja kabar gembira segera menghampiriku. Aku bisa pulang. Bercanda lagi dengan bi Ijah, mang Dadang. Tidak sabar lagi rasanya ingin segera berada di kamar tercinta.

Aku rindu ranjangku yang empuk lagi nyaman. Ingin segera memelukku boneka putih kesukaanku. Sebuah boneka yang menjadi kenangan terakhir dari, Fadil.

"Fadil, aku sangat merindukanmu," desahku sembari menelungkupkan kedua tanganku di dada.

Tanpa ku sengaja, aku menyentuh liontin perak di leherku.

"Liontin iniiii....." gumamku dalam hati.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang