chapter 29

336 6 0
                                    

"Jelita..." sapa bunda peri lembut.

Kristal bening itu terus mengalir. Bunda peri menangis. Meratapi kenangan pilu, yang menyayat hati. Aku tidak ingin melihat semua ini.

Takdir telah merenggut kebahagiaanku. Kesalahan apa yang telah aku lakukan. Hingga takdir begitu kejam. Kejam sekali. Merebut Fadil dari hatiku. Menggenggamnya, membawa roh kekasihku itu pergi.

"Jelitaa." Bunda peri menyapaku lagi.

Jemarinya menyentuh pundakku. Ada ketenangan di sana. Sebuah rasa nyaman yang hadir, entah dari mana. Mungkinkah tangan bunda peri memiliki hawa kesejukan.

"Jangan pegang-pegang Jelita bundaa!!" Bentakku.

Emosiku sedang labil. Ini semua, kenangan buruk ini muncul kembali karena bunda peri. Bunda peri yang telah membawaku ke sini.

"Jelita marah sama bunda?" Tanya bunda peri lembut.

Kristal bening itu, semakin deras membanjiri sungai kecil yang ada di dekat lesung pipitnya. Bunda peri sedih, menatap kejadian memilukan barusan.

"Bunda peri jahaaat!! Jaahaaat. Pokoknya Jelita benci sama bunda peri!!"

Kemarahanku kian memuncak. Sungguh, aku tidak bisa lagi mengendalikan diriku sendiri. Kenangan ini, semua yang terjadi di taman mawar ini.

Mobil sedan berwarna putih itu. Awan Nimbostratus, yang menggelantung di atas langit. Semua itu adalah kebencianku. Yang telah merenggut kebahagiaanku selamanya.

Memisahkan kisah asmara yang tengah bermekaran di hati kami. Aku dan Fadil. Dan sialnya, bunda peri membawaku ke sini. Ke taman mawar ini. Alhasil, kenangan yang hendak terlupakan dari memoriku. Kembali lagi.

Bunda peri memang tega, sengaja melakukannya. Ku pikir bunda peri sosok yang baik, penyanyang, lemah lembut. Namun, bunda peri jahat. Sosok yang paling jahat, yang pernah aku temui selama ini.

"Jelitaa, jangan salah paham dulu, sayang." Ujar bunda peri.

Aku sudah muak mendengar alasan, gaya lama dari bunda peri. Hanya membuang-buang waktu saja, aku meladeni bunda peri yang jahat ini.

Aku berjalan ke arah taman mawar. Meninggalkan bunda peri yang masih terisak. Aku tidak peduli dengan air mataku yang terus mengalir. Membasahi pipiku.

Ku biarkan bunda peri tertinggal jauh di belakang. Aku semakin dekat dengan taman mawar. Wajah itu, semakin jelas. Darah segar itu terus mengalir dari tubuh Fadil.

Ya, Fadil yang saat ini aku lihat. Dan perempuan yang ada di hadapanku ini. Dialah diriku, cerminan hatiku. Dia menangis, layaknya aku menangis. Dia meratapi kepergian kekasihnya. Layaknya diriku dulu yang meratapi kepergian Fadil, kekasihku.

Karena ini adalah masa laluku. Dia adalah diriku yang dulu. Saat kekasih yang sangat aku cintai, mengakhiri hidupnya di depan mataku. Demi menyelamatkan nyawaku, Fadil mengorbankan dirinya.

"Tuhan, aku seperti mengulang kembali masa laluku. Lihatlah di sana. Jelita yang polos. Dengan bodohnya, tetap mengoyak tubuh kekasihnya yang berlumuran darah. Napas kehidupannya telah lenyap. Terlalu berharap akan sebuah keajaiban. Bahwa kekasihnya masih hidup. Berharap kekasihnya, masih bisa memberikan senyum terakhirnya. Saksikanlah kepedihan, Jelita itu, Tuhaann!!!"
Teriakku.

Aku menjambak rambutku, kepalaku menjadi pusing. Ribuan kepedihan telah melukai perasaan ini. Membenamkan hati yang kian tersakiti.

"Fadiiiil, jangan pergi," desahku lirih meratapi kesedihan ini.

Perempuan yang ada di hadapanku, yang tidak lain adalah diriku sendiri. Terus berteriak. Memanggil siapa saja yang kebetulan lewat. Membentak, menyuruh menolong kekasihnya.

Menghidupkan kembali yang telah pergi untuk selamanya. Mengembalikan kekasihnya, dalam buaian kisah asmara. Hatiku semakin tersayat, perih terasa. Aku lemas, tubuhku lunglai.

Jatuh, tersungkur ke tanah. Menatap kesedihan perempuan yang tidak adalah diriku dalam masa lalu itu. Aku tidak sanggup melihat semua ini. Mengulang kisah yang memilukan.

"Akuu tidak ssanggup, Tuhann!!" Teriakku sembari menatap langit yang berhiaskan awan Nimbostratus.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang