chapter 32

316 5 0
                                    

Bola raksasa berwarna kemerahan membenamkan wajahnya. Kembali ke singgasananya. Membawa sejuta kejadian hari ini. Menutupnya rapat dalam sebuah kenangan.

Aku masih menatap langit di kejauhan. Langit yang kian muram. Gelap datang menyelimuti. Menyambut jutaan gemintang yang menghiasi langit malam.

Samar-samar, terdengar suara azan berkumandang. Menelusup masuk lewat celah sempit telingaku. Saling bersahutan. Dari toa-toa masjid maupun mushalla yang ada di sekitar taman mawar.

Aku belum beranjak. Menikmati keindahan azan yang berkumandang. Menerobos lapisan langit, membawa sebuah kedamaian ke luar angkasa.

Semilir angin lembut, menyapa kulitku. Menawarkan sensasi kesejukan yang merdu. Bola mataku masih menerawang di kejauhan. Seolah mencari sesuatu di sana.

Saat ini, aku tidak tau lagi, kemana harus melangkahkan kaki. Aku hanya ingin pulang. Aku sangat merindukan papa dan mama di rumah. Mereka pasti khawatir, dengan keadaanku.

Sudah berapa lama, aku pergi dari rumah. Rasanya, sangat lama sekali. Aku mencoba mengingatnya kembali. Wajah mama terbayang dalam benakku saat ini. Senyumnya, tawanya. Namun sayang, mama terlalu sibuk dengan butiknya.

Aku menepiskan bayangan semu itu. Menghadirkan sosok papa di sana. Papa yang selalu berbaik hati menasihatiku, ketika berbuat salah. Papa dengan berjuta kalimat bijaknya. Papa yang selalu menuruti keinginanku. Akan tetapi, ada satu bayangan yang membuat hati ini tidak mau mengenangnya.

Papa terlalu sibuk dengan urusan kantornya. Belum lagi dengan ratusan hektare kebun sawit, karetnya itu. Akhir-akhir ini, mereka tidak punya waktu lebih untukku. Untuk sekedar berbagi canda, tawa, sedih. Aku merindukan kehangatan keluargaku yang dulu.

Malam datang menyapa, mentari bergantikan sang rembulan. Yang kini bertengger di singgasananya. Menyapa penduduk bumi yang mulai kelelahan. Akibat bekerja seharian, menguras tenaga dan pikiran.

Aku juga lelah. Hadirnya kenangan demi kenangan ini. Membuat energiku terkuras habis. Menyisakan segenggam semangat dalam diriku.

***

"Jelitaa, bunda tidak tega melihatmu terus seperti ini," ucap bunda peri lirih.

Sedari tadi, bunda peri terus mengamati Jelita. Wanita cantik, yang masih polos itu. Bunda peri semakin sayang dengan Jelita. Namun, beberapa menit yang lalu. Ia telah membuat Jelita marah besar. Bunda peri melakukan kesalahan fatal.

Dengan membawa Jelita ke dalam masa lalu yang menyedihkan. Memutar kembali setiap detail masa lalunya. Menumbuhkan rasa benci dalam hati Jelita kepada bunda peri.

Padahal, selama Jelita berada di alam keabadian. Jelita tetaplah putri yang polos, cantik dan menggemaskan tingkahnya. Semua itu telah lenyap. Berganti dengan sikap murung yang menghiasi hari Jelita saat ini.

Bunda peri sadar, seharusnya ia melawan takdir kehidupan. Tidak membawa Jelita, ke dalam masa lalu yang memilukan bagi Jelita.

Seharusnya, bunda peri mengajak Jelita untuk menikmati awan Sirrus dalam waktu yang lama. Karena Jelita, sangat menyukai awan Sirrus. Tidak dengan awan Nimbostratus.

Awan yang telah merenggut nyawa kekasihnya itu. Awan yang paling Jelita benci sepanjang hayatnya.

"Sayang, bunda sedih melihatmu seperti ini terus," tutur bunda peri.

Tess...

Tanpa disadari oleh bunda peri. Kristal bening itu jatuh menembus lapisan udara yang berhembus. Menyentuh tanah. Andai bunda bisa memilih, bunda akan memberikan takdir terindah dalam hidupmu, sayang.

Bukan takdir yang berselimutkan kepedihan yang membawa kesengsaraan seperti ini. Bunda tidak rela, air matamu jatuh membasahi bumi. Bumi pun akan menangis, jika melihatmu menangis, Jelita.

Bunda peri tergugu. Ia membiarkan kristal bening yang berderaian itu. Jatuh ke tanah. Menyirami tanah yang merindukan air. Bunda peri terus menatap Jelita dari kejauhan.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang