chapter 25

343 9 0
                                    

"Jelita, sudah waktunya kita pergi dari sini." Bunda peri mengingatkan lagi.

Aku memasang raut wajah cemberut. Tidak setuju dengan pemikiran bunda peri kali ini. Aku ingin menikmati betapa lembutnya awan Sirrus saat tersentuh oleh jemari.

Kenapa hanya sekejap, aku bisa menikmati kebahagiaan ini. Apa takdir tidak pernah rela, melihatku bahagia. Takdir memang kejam, seolah tidak pernah memberikan ruang kebahagiaan untukku.

"Jelita tidak boleh berpikir seperti itu. Takdir tidak pernah kejam kepada siapa pun sayang. Semua garis kehidupan manusia, telah tergores rapi dalam buku keabadiaan. Begitu pun dengan perjalanan hidup Jelita." Bunda menjelaskan panjang lebar.

Sebelum aku pergi. Sebelum bunda peri membawaku pulang kembali. Untuk terakhir kalinya, aku menatap gerombolan awan kesayanganku itu.

Sirrus bagaikan tersenyum menatapku. Seakan Sirrus juga memiliki kehidupan. Mataku layu, harus berpisah dengan awan kesukaan-ku. Entah kapan, aku bisa bermain disela-sela Sirrus kembali.

"Jelita sudah siap? Pergi lagi?"

"Sudah bunda," jawabku sebal.

Beberapa detik yang lalu. Bunda peri sangat baik kepadaku. Kali ini, bunda peri tidak memberikan toleransi sedikit pun untukku. Menikmati kebahagiaan ini. Barang satu, dua jam ke depan.

Tangan bunda peri yang lembut, menggenggam erat jemariku. Perlahan, kami meninggalkan gerombolan awan-awan yang tampak indah, menakjubkan.

Aku tidak boleh menyesal, sedih. Harusnya, aki bahagia saat ini. Bisa bertemu dan menyentuh awan kesukaanku dari jarak yang sangat dekat sekali.

"Selamat tinggal Sirrus-ku. Kelak, suatu saat nanti. Aku akan kembali. Dan membawamu ke rumah tercinta. Aku ingin memilikimu wahai Sirrus," tuturku lirih.

Desiran angin yang merdu, menerbangkan bisikan itu. Mencari ruang dalam kenyamanan. Bunda terus fokus, memandang puluhan kilometer situasi di depan sana.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Awan Altostratus, Sirokumulus, dan Sirrus. Sudah jauh tertinggal di belakang

Ragaku melayang, mengikuti irama pergerakan bunda peri. Entah kemana lagi bunda peri akan membawaku kali ini. Akankah, aku dibawa ke sebuah tempat yang membuatku bahagia.

Atau, jangan-jangan bunda peri akan membawaku pergi ke tempat yang penuh rasa sakit di hati ini. Entahlah, aku juga tidak tau apa isi hati bunda peri saat ini.

Jika sudah menyangkut hati. Aku hanya bisa mengangkat tangan. Menyerah sebelum bertarung. Aku tidak mau berdebat lagi masalah hati. Cukup. Cukup sekali hati dan perasaan ini hancur berkeping-keping.

Menyisakan puing-puing dan debu yang berserakan. Menghadirkan rasa pedih, ketika diri ini terus mengenangnya.

"Bunda, kita mau kemana lagi?" Tanyaku memecah keheningan.

"Ke sebuah tempat. Tempat yang tidak asing lagi, bagi Jelita." Jawab bunda peri.

"Ya iyalah bunda peri. Berhenti di sebuah tempat. Semua orang juga tau kali. Orang yang bepergian akan berhenti di sebuah tempat yang menyediakan bahan makanan untuknya. Begitu pun dengan perjalanan ini. Pasti akan berlabuh di sebuah tempat. Tapi dimana?" Gerutuku dalam hati.

Tidak puas dengan jawaban yang bunda peri jelaskan barusan. Aku belum paham betul, dengan penjelasan bunda peri. Saraf-saraf otakku tidak mampu bekerja lebih luwes lagi. Untuk mencari makna instrinsik dari kalimat bunda peri.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang