chapter 14

563 13 0
                                    

"Bunda peri. Panggil saja bunda peri." Jawabnya singkat.

Senyum itu begitu indah. Sepasang bola mataku nan hitam lekat memandangnya. Tak jenuh, menilik setiap inchi senyum yang merekah di bibir manisnya.

"Aku Jelita," ujarku membalas senyum manisnya.

"Bunda sudah tau sayang. Jelita putri yang baik hati." Tuturnya.

Aku hanya menjawab dengan senyum tipis yang merekah di bibirku. Mungkin, wajahku bersemu merah kali ini. Mendapat pujian dari bunda peri yang cantik.

"Bunda peri berasal dari mana?" Kataku polos.

Tiba-tiba saja, pertanyaan itu melintas di benakku. Padahal, jawabannya sudah pasti. Bunda peri adalah penunggu ruangan gelap ini. Ruangan yang membutuhkan pancaran cahaya penerang dari bunda peri.

"Negeri keabadian, sayang." Jawab bunda peri lembut.

Entah kenapa, setiap kata, kalimat yang terucap dari bibir manis bunda, begitu meneduhkan hatiku. Ada hawa kenyamanan yang terpancar dari bunda peri.

"Kenapa bunda bisa berada di tempat gelap seperti ini?" Tanyaku bingung.

"Jelita kenapa bisa berada di ruangan yang gelap ini?" Bunda peri balik bertanya.

Satu...
Dua....
Tiga menit berlalu. Masih hening, aku mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang bunda peri lontarkan kepadaku.

Aku meniti setiap sudut ruangan. Sepasang bola mataku mencari sesuatu yang hilang di sana. Seolah ada ingatan yang menguap, terbang mengudara. Meninggalkan kenangan dalam memori yang kian menghilang.

"Jelita......" kalimatku tertahan.

Aku mencoba mengingatnya kembali. Sungguh aneh, aku sendiri tidak tau kenapa bisa berada di tempat seperti ini. Ruangan gelap, yang merindukan cahaya penerang.

"Jelita tidak tau bunda peri. Jelita lupa, kenapa Jelita bisa sampai di ruangan yang gelap gulita ini," jawabku sembari menggelengkan kepala.

"Dengarkan baik-baik sayang. Jelita, termasuk salah satu dari sekian juta manusia yang beruntung." Tutur bunda peri.

Senyum manis itu, selalu menghiasi bibirnya. Membuatku ingat akan senyum yang pernah aku lihat sebelumnya. Senyum yang sama dengan senyum bunda peri. Makhluk yang memiliki sayap, dengan warna tubuh putih dominan.

"Beruntung?" Kataku lirih, dalam hati.

Dari mana aku beruntung. Justru, aku sedang tersesat. Aku ingin kembali pulang ke rumah. Berkumpul dengan papa dan mama, meski mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka.

Namun, aku tetap menyayangi mereka. Kedua orang tuaku adalah malaikat tak bersayap. Jasa mereka sungguh besar. Tak sanggup tuk membalasnya.

"Iyaa, beruntung. Kamu sungguh beruntung Jelita." Bunda peri seolah bisa membaca apa yang sedang ku pikirkan saat ini.

"Dari mana bunda tau, Jelita berpikiran seperti itu?"

Tak ada jawaban yang pasti dari bunda peri. Bunda hanya membalas dengan senyum yang kian memesona. Membuat hatiku merasakan getaran-getaran kenyamanan.

"Ayolah bunda peri, Jelita ingin tau bunda," rengekku kepada bunda peri.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang