chapter 22

399 10 0
                                    

Tangan kanan bunda peri menggenggam erat tanganku. Aku menurut saja. Sepasang bola mata bunda peri yang menawan. Membuatku terpikat, mengikuti keinginannya.

Setelah berhasil menggenggam erat tanganku. Bunda peri menyunggingkan senyum manisnya. Membuat sepasang bola mataku nan hitam memendar, tak jenuh menatapnya.

"Jelita siap?" Bunda peri memastikan.

"Siap bunda, selama bersama bunda peri. Jelita akan siap pergi kemana saja. Ikut dengan bunda peri," jawabku mantap.

"Bunda akan mengajak Jelita ke tempat yang indah sekali." Kata bunda peri.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil. Menyetujui apa yang dikatakan bunda peri barusan.

Bunda peri pun, hanya melemparkan senyum manis kepadaku. Mulutnya terkatup rapat. Memandangku, lekat.

"Kita berangkat sayang." Ujar bunda peri.

"Iya bunda."

Tubuhku bergerak, mengikuti pergerakan bunda. Perlahan. Namun ada yang aneh. Kakiku tidak bergerak. Sungguh, kakiku tidak melakukan gerakan maju ataupun mundur.

Aku menatap ke bawah. Seperti ada semilir angin lembut yang menerbangkan tubuh kami. Ingin rasanya aku bertanya kepada bunda peri.

Akan tetapi, pertanyaan itu hanya bisa ku pendam dalam sanubariku. Selamanya akan terkubur di dalam sana. Membekas, meninggalkan segenggam rasa penasaran yang kian menggebu.

Tubuh kami semakin lama semakin cepat bergerak. Genggaman bunda peri juga semakin erat. Inilah untuk pertama kalinya aku bergerak tanpa melangkahkan kaki.

Tubuhku terasa terbang, melayang di udara. Aku menatap sosok bunda peri yang menatap lembut kejauhan. Dalam hitungan detik, kami meninggalkan ruangan gelap tadi.

Di depan sana, tampak jutaan kemerlap cahaya yang menerangi. Menghadirkan berjuta keindahan yang tak terlupakan.

Mulutku terkunci rapat. Padahal, banyak sekali pertanyaan yang menggelayut dalam benakku. Tentang jati diri bunda peri. Semua ini, semua yang terjadi kepadaku kali ini. Sungguh diluar penalaran manusia.

Tiada seorang manusia yang melayang di udara tanpa alat teknologi canggih di dunia ini. Cerita tentang kekuatan itu hanya fiktif belaka.

"Bunda?" Suaraku memecah keheningan.

"Iya sayang, kenapa? Jelita takut ketinggian?"

"Tidak bunda, Jelita hanya..."

"Pertanyaannya disimpan dulu ya sayang." Terang bunda.

Bunda memotong kalimatku yang belum sempurna selesai. Aku kembali diam. Menutup rapat mulutku. Memandang keindahan awan yang bertebaran di langit.

"Jelita suka awan?" Kali ini bunda yang membuka percakapan.

"Suka bunda, malahan sangat, sangat, sangat suka sekali bunda."

"Apa awan favorit Jelita?"

"Sirrus bunda. Awan yang begitu lembut. Berbentuk seperti serat bulu ayam itu, membuatku terkesima setiap kali menatapnya bunda," jelasku sembari melemparkan senyum kepada bunda peri.

"Jelita memang pintar. Sirrus pilihan yang paling tepat Jelita. Awan ini selalu mengundang kebahagiaan bagi penggemarnya." Ungkap bunda.

"Benarkah hal itu bunda? Bunda tidak berbohong kepada Jelita?"

"Untuk apa bunda berbohong, sayang. Jelita akan tau sendiri nantinya. Jawaban itu, akan Jelita dapatkan sendiri nanti."

Aku semakin penasaran. Dengan kalimat yang bunda katakan barusan. Kami terus bergerak menyusuri setiap jalan abstrak yang tak terlihat olehku. Banyak keajaiban dan hal yang mustahil dari bunda peri.

Apa benar, bunda peri yang diutus untuk menemuiku? Memberikan hidayah dalam perjalanan hidupku. Ah, lagi-lagi pertanyaan demi pertanyaan yang tidak memiliki jawaban itu melintas di benakku. Sejenak, aku membiarkannya tersimpan dan membuat sesak memori yang semakin kecil kapasitas penyimpanannya.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang