chapter 31

297 5 0
                                    

Bunda peri berlalu, pergi meninggalkanku. Ada banyak kenangan di sini. Kenangan yang menyisakan luka perih di hati. Ada jutaan bahkan milyaran kenangan yang tersimpan dalam memori otakku.

Akan tetapi, inilah kenangan pahit yang kekal abadi dalam ingatanku. Kenangan ini, tidak pernah bisa ku hapus. Meskipun aku telah mencoba untuk menghapusnya. Namun, tetap saja hasilnya nihil.

Hanya dengungan kosong yang menertawakan kesedihanku ini. Menyapa kenangan yang memilukan.

"Bunda peri kalau mau pergi, pergi saja!!! Huhuhuhuu"

Aku terus berteriak. Muak melihat sosok bunda peri yang pura-pura polos namun mematikan hatiku. Bunda peri hanya menjawab dengan tatapan kosong.

"Baguslah, kalau bunda peri membenciku," batinku dalam hati.

Aku membalas tatapan kosong itu, dengan senyum sinis. Tak lama kemudian, bunda peri beranjak pergi. Semakin jauh, meninggalkanku dalam kesendirian.

"Pergi jauh sana! Jangan pernah kembali, aku benci kamuu bunda periii!!"

Jemariku mencengkeram tanah. Ingin mengoyak tanah tersebut. Aku benci dengan kenangan. Benci sekali, kenangan telah menyakitiku. Membuat hidupku semakin hancur, berantakan.

"Ma, pa. Kalian dimana? Jelita butuh perhatian dan kasih sayang mama. Jelita butuh nasihat bijak papa, sekarang," rintihku lirih.

Hanya desiran angin lembut yang menerpa. Menemani diri yang terluka ini. Hatiku tersayat oleh ribuan pisau yang sangat tajam.

Hamparan taman mawar yang indah. Tak mampu membuat hatiku tersenyum. Setiap kali sepasang bola mata ini, menangkap benda yang bernama pohon. Pohon yang ukurannya paling besar di taman.

Bayang-bayang masa lalu itu kembali hadir. Memutar kembali memori kecilku. Mengulang setiap detik kenangan yang membahagiakan sekaligus menyedihkan bagiku.

Aku mencoba bangkit. Mengayunkan langkah menuju bangku taman yang terbuat dari kayu. Aku ingin menikmati senja yang masih tersisa. Siluet jingga masih menggelayut indah, di langit yang tampak kemerahan.

Aku menatapnya takjub. Aku baru menyadarinya, tidak hanya kejadian tragis itu yang menghiasi taman mawar sore ini. Ada keindahan yang tidak ku lihat dalam kehidupan masa laluku.

Karena, aku harus mengantarkan Fadil ke rumah sakit. Meskipun hanya naungan luka yang ku dapat. Hanya rasa perih yang kian menyeruak dari dalam kalbuku.

Aku memandang siluet jingga. Sepasang bola mataku, tidak berkedip untuk beberapa detik. Sembilan belas detik yang mengagumkan. Siluet jingga, akan tetap menawan. Mengisi ruang hati yang kosong.

Ternyata, selama ini aku salah. Aku hanya menilai sebuah kejadian hanya dengan memandang sepihak saja. Seperti halnya kejadian senja ini. Aku baru mengetahui, ada sebuah keindahan setelah kejadian nahas yang menimpa kekasihku itu.

Selama ini, aku selalu menyalahkan takdir. Takdir tidak pernah adil dengan hidupku. Takdir hanya ingin menambah kesengsaran dalam hidupku.

Ternyata aku salah, salah besar. Sebab, aku hanya melihat semua itu. Kejadian nahas senja itu. Hanya menilai dari sisi negatifnya saja. Tidak sepenuhnya awan Nimbostratus membawa malapetaka dan berita duka saja.

Siluet jingga itu, begitu memesona. Menghadirkan kebahagiaan yang tak terhingga.
Selama ini, aku berpikir hanya kepedihan yang menghiasi taman mawar senja itu.

Luka yang membawa perih. Hingga sekarang, luka itu tak kunjung terobati. Aku hanyalah sepintas masa lalu. Hidupku, masih dibayang-bayangi oleh masa lalu.

Sampai kapan? Sampai kapan hati ini akan tetap sanggup. Sanggup menjalani semua ini. Hidup dalam bayangan masa lalu yang indah, tak terlupakan. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan seperti insan pada umumnya.

Aku tidak ingin, masa lalu ini terus datang menghantuiku. Aku hanya ingin pulang. Memeluk papa mama, yang sedang menunggu di rumah. Siluet jingga telah berakhir. Aku harus mengakhiri petualangku. Cukup sampai senjaku ini.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang