chapter 45

281 6 0
                                    

Aku meraba liontin perak yang kini melingkari leherku. Lembut, ada kenyamanan di sana. Sebuah perasaan yang sungguh berbeda, tak kasat mata.

Entah kenapa, liontin perak ini membuat hatiku terasa nyaman. Aku mencoba mengingatnya. Pemberian siapa liontin perak ini?

Apakah mama memberikan liontin ini, ketika aku terbaring tak berdaya. Atau ini hadiah dari papa?

Pertanyaan demi pertanyaan hinggap di benakku. Jemari terus menelusuri setiap inchi, bagian dari liontin perak. Sulit rasanya, untuk mengingat kenangan yang satu ini.

Bagaikan ada tembok yang menjulang tinggi. Menghalangi ingatanku. Menjauhkan memori kecilku, agar aku tidak bisa mengingat semua tentang liontin perak yang kini melingkar di leherku.

Kreekkkk

Aku masih sibuk dengan liontin perakku. Kesibukan yang mampu menghipnotis kehadiran seseorang di belakangku.

"Sayang, ngelamunin apa?" Suara mama membuyarkan lamunanku.

Ragaku yang tadinya terbang entah kemana. Seolah kembali dengan terpaksa.

Buru-buru aku menyembunyikan liontin perak itu dalam kaos yang ku kenakan pagi ini. Berharap, mama tidak menyadari kehadiran liontin itu.

Aku yakin, liontin itu bukanlah pemberian mama. Apalagi papa. Aku tau betul karakter mereka. Untuk itu, aku ingin merahasiakannya lebih dulu. Takutnya, mereka curiga dengan liontin itu. Menyangkal, jika liontin perak yang melingkar di leherku pemberian dari seorang pacar.

"Ee...eehh. Mama," kataku gugup.

"Nggak kok ma, Jelita nggak ngelamun. Bosan aja, di ruangan pengap ini ma," jawabku sekenanya.

"Jangan bohong. Putri mama kan nggak bisa bohong sama mama," sanggah mama tidak percaya.

"Jelita nggak bohong mamaku tersayang. Percaya deh ama Jelita," ucapku meyakinkan mama.

Jika berbohong gini, aku memang tidak bisa menatap sepasang manik mata mama dalam waktu yang lama. Aku segera mengalihkan pandangan. Menatap ke arah luar jendela.

"Jelita pengen pulang ma," ujarku lirih.

Ada perasaan pedih di sana. Bosan, apalagi. Sangat membosankan malah. Siapa juga yang betah tinggal di ruangan pengap seperti ini. Tak ada AC, tv. Cukup sudah membuat diriku tidak betah berada di ruangan ini.

"Sabar sayang, kita nunggu papa ya," jawab mama.

Sepasang manik mata mama menatap di kejauhan. Tempat dimana sang mentari mulai beranjak naik. Meninggalkan tempat kelahirannya.

"Maksud mama?" Aku memasang wajah polos.

Yang membuat mama mencubit gemas kedua pipiku.

"Issshhh, putri mama yang cantik ini kokk yo masih polos begini?" Mama gemas.

Terdengar suara giginya yang gemertakan lirih. Saking gemasnya. Dulu, saat aku masih kecil. Mama selalu mencubit kedua pipiku. Katanya, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Kedua pipiku ini tak ayal seperti bakpao. Membuat semua orang yang mendapatinya merasa gemas ingin segera mencubit. Atau sekedar menyentuhnya. Bahkan tak jarang mendaratlah ciuman-ciuman kasih sayang di sana.

Seiring berjalannya waktu. Kebiasaan itu menghilang. Aku semakin dewasa, malu jika mendapat perlakuan seperti itu. Pengecualian untuk mama tercinta. Toh, mama juga yang telah berjuang, susah payah melahirkan ku ke dunia.

Harus bertaruh nyawa, hanya demi mendengar tangisku ketika keluar dari perutnya.

"Jelita bener-bener nggak ngerti maa," kali ini aku serius.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang