chapter 48

332 7 0
                                    

Kepergian bibik, menghadirkan rasa sepi di kamarku. Aku menatap sekeliling kamar. Cat berwarna pink, begitu indah melekat di dinding kamarku. Membuatku tersenyum senang, ketika memandangnya.

Aku segera meraih android-ku yang sempat tergeletak di kasur. Ku tatap layar berukuran 5,5 inchi itu. Tak ada balasan dari Viola. Mungkin ia sedang sibuk. Maklum, sahabatku yang satu itu tidak betah berdiam diri dalam rentang beberapa detik saja.

Merasa bosan hanya duduk di atas ranjang. Aku menelusuri setiap inchi sudut kamarku. Menatap beberapa majalah yang tersusun rapi di rak-rak kamar.

"Bik Ijah pasti sudah bekerja keras merapikan kamarku yang dulunya amburadul." Gumamku dalam hati.

Setelah di pikir-pikir. Aku memutuskan untuk memasukkan majalah-majalah yang menurutku sudah tidak berguna lagi.

brukkk.....

Brukkk...

Sudah dua kardus berisi penuh dengan majalah. Tak lupa, aku juga memasukkan beberapa barang kenangan dari papa dan mama saat umurku masih belasan tahun.

Aku rasa, semua barang ini harus masuk ke dalam museum keluarga. Terlihat, beberapa lukisan alam yang indah. Penuh dengan pensil warna-warni. Menarik perhatianku. Dulu, waktu masih di sekolah dasar, aku suka menggambar.

Entah sejak kapan, kebiasaan-ku menggambar itu lenyap, tak berbekas.

Brukkk....

Aku memasukkannya ke dalam kardus. Ku pikir, akan lebih indah jika di taruh di museum keluarga. Papa memang punya museum keluarga.

Tepatnya di rumah nenek. Rumah yang sudah tidak di tempati itu, kini menjadi museum keluarga. Barang-barang yang masih bagus, dan sebuah kenangan.

Boleh di taruh dan di pajang di dalam museum. Papa tidak pernah melarang salah satu anggota keluarganya untuk memajang barang kenangan milik mereka di museum papa. Ya, meskipun rumah itu sudah menjadi hak milik papa.

Tapi, papa lebih senang. Anggota keluarga lainnya bisa ikut menikmati.

"Non Jelita lagi ngapain?" Suara bik Ijah mengagetkanku.

Hampir saja aku terjengkang, mendapati sosok bik Ijah yang tiba-tiba ada di hadapanku saat aku membalikkan badan. Kayak di film-film horror saja kejadiannya.

Namun, hantu di sini lebih nyata.

"Ihhh, bikk Ijaahh. Bikin orang kaget ajaa," kataku sebal.

Jantungku lebih cepat memompa darah ke seluruh tubuh.
Dug...
Duggg...

Degupan jantung itu terasa sekali. Untung aja tuh jantung tidak copot dari singgasananya. Kalau sampai copot kan bisa berabe jadinya.

"Habisnya, non Jelita keliatan sibuk banget. Sampai terdengar bunyi gedebukan di dapur non," terang bik Ijah.

"Masak sampai ke dapur sih bikk?" Aku masih belum percaya dengan omongan bik Ijah barusan.

"Njehh, non. Memangnya majalah-majalah itu mau di kemanain non?"

"Di museum kan, bik." Jawabku, tanganku terus bergerak lincah.

Memasukkan barang-barang yang ku anggap tidak ku butuhkan lagi ke dalam kardus yang berukuran tidak terlalu besar itu. Sudah tiga dus yang terisi penuh.

Ternyata, kamarku penuh dengan barang-barang yang tidak berguna. Terus menumpuk tanpa aku sendiri sadar akan hal itu.

"Ohhh, ya udah. Sini bibik bantuin," bik Ijah menawarkan diri membantuku.

"Nggak usah bik. Jelita kan bisa sendiri," tolakku.

"Nggak bisa non, tadi mama non Jelita memberi nasihat lewat perantara bibik. Supaya non Jelita memperbanyak waktu untuk beristirahat. Bukan bekerja keras seperti ini, non." Jelas bik Ijah.

"Nggak apa-apa bik, kan cuma beresin majalah yang bikin sumpek nih mata, bik."

Bik Ijah tak bisa menolak lagi keinginanku. Ia hanya bisa pasrah. Malah ikut nimbrung, membantu membersihkan majalah-majalah lama yang akan di museumkan.

"Bukannya non Jelita suka baca-baca majalah?" Tanya bik Ijah di sela-sela kesibukan tangannya memasukkan majalah ke dalam kardus.

"Dulu bik, rencananya rak yang kosong ini mau Jelita isi dengan buku-buku agama bik. Yang berkaitan dengan shalat, Al-Quran semuanya lah." Kataku panjang lebar.

Bik Ijah malah menatapku dalam. Ia heran, melihat perubahan sikapku. Padahal, selama ini aku sudah membuang jauh-jauh yang namanya agama.

Terakhir, ya itu. Masa Smp. Bik Ijah pasti udah lupa.

"Helloww, bikkk? Kokk malaj ngelamun?" Aku melambaikan tangan di depan wajah bik Ijah.

"Eehhh, anu... anu non." Kata bik Ijah gugup.

"Anu-anu apaan sih bik? Kalau ngomong itu yang jelas bik. Nggak usah pakai anu-anu segala," perkataanku sukses membuat bik Ijah salah tingkah.

Ketahuan memperhatikanku penuh arti begitu. Tidak heran, jika bik Ijah bersikap seperti itu. Seolah tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan barusan.

Sebab, selama ini. Aku memang sudah jauh sekali dari Allah, sang Pencipta semesta alam dan seluruh isinya.

"Nggak non, nggak ada apa-apa. Bibik cuma bersyukur aja, non Jelita kecil akhirnya kembali." Suara tulus bik Ijah kembali menggema di kamarku.

"Bibikkkk." Kataku lirih.

Aku memeluk erat tubuh rapuh bik Ijah. Tubuh yang kian menua. Kehilangan energi masa mudanya. Rambutnya, tidak lagi hitam lebat.

Kulitnya mulai keriput, seiring berkurangnya jatah kehidupan bik Ijah di dunia. Aku sangat menyayangi bik Ijah. Sosok yang selalu mengisi kekosongan, saat mama memilih sibuk untuk mengurusi butik-butiknya.

"Jelita sayang banget sama bik Ijah," kataku parau.

"Bibik juga non."

Tak terasa, kristal bening itu menetes. Membasahi pundak bik Ijah.

Usai melewati drama saling peluk-pelukan. Aku dan bik Ijah mengangkut kardus-kardus yang sudah penuh sesak oleh tumpukan majalah dengan troli. Mendorong kardus-kardus tersebut ke garasi. Menaruhnya di dalam mobil box yang sengaja papa gunakan untuk mengangkut barang-barang keluarga ke museum.

Bik Ijah yang mendorong. Ia tidak tega membiarkan aku yang bersusah payah mendorong troli yang bermuatan itu. Aku pun mengalah. Aku lebih memilih membuntuti ekor bik Ijah saja.

***

"Hoaamm, lelah juga." Kataku sambil menguap.

Segelas jus alpukat buatan bik Ijah sudah masuk ke dalam perutku. Aku melirik jam dinding yang ada di sudut kamar.

Jam sebelas. Mama, tak kunjung pulang. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Beberapa ototku, terasa sakit. Efek terbaring lama di rumah sakit. Sekali kerja, ya langsung capek-capek begini rasanya.

Lagi pula, shalat zuhur juga masih lama. Aku segera mengatur alarm di handphone jadulku. Ku atur volume paling keras. Agar aku lebih mudah terbangun.

Belum puas, aku juga mengatur jam weker yang ada di meja samping ranjangku. Untuk berjaga-jaga kalau seandainya alarm handphone tidak mempan di telingaku.

Sudah siap, saatnya terbang ke alam mimpi. Setidaknya, mulai hari ini. Aku sudah tidak terbaring di ruangan serba putih nan pengap itu.

Udara sejuk, yang keluar dari lubang AC. Menelusup lembut, lewat celah pori-pori kulitku. Membuat sepasang bola mataku terasa semakin lengket.

Selamat tidur, semoga terbangun dalam keadaan yang lebih segar dan lebih baik lagi.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang