chapter 8

900 21 0
                                    

"Huhh, kuliah di sini cukup membosankan yah." Celetuk Viola.

Aku masih sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Viola tampak bersungut-sungut karena merasa terabaikan olehku.

"Jelita, kamu pura-pura budek atau gimana sih?" Viola mulai sebal.

"Bisa jadi seperti itu," jawabku sembari melemparkan senyum manis kepadanya.

"Aku kan jauh-jauh dari Jepang karena rindu sama kamu loh beb? Eh, malah dicuekin seperti ini."

"Cuek gimana sih Viol?"

"Tuh barusan." Viola memonyongkan bibirnya.

"Udah ah, aku lapar. Katanya mau makan nasi goreng di kantin sekolah kita dulu?"

"Nggak jadi beb, aku pengen makan bakso aja."

"Huhh, dasar Viola. Sikapnya selalu saja plin-plan," gerutuku dalam hati.

Kami pun berjalan beriringan. Meninggalkan kelas. Hari ini, memang cukup membosankan sih. Benar kata Viola.

Ternyata lebih asyik ketika menikmati masa-masa SMA dulu.  Di kampus, mahasiswa sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Masuk ke dalam kelas, semua sibuk dengan buku. Tak ada gelak tawa, seperti yang aku dapatkan di SMA.

"Jadi, kita makan bakso dimana nih?" Tanyaku memastikan.

"Aku mah nurut kamu aja kali beb. Yang penting enak, dan nggak pakai boraks atau formalin baksonya." Jawab Viola.

"Bakso di sini mah, semua pakai formalin, Viol," kataku dengan nada yang meyakinkan.

"Ehh, kamu seriusan beb? Kalau gitu, makan ketoprak aja deh." Dalih Viola.

Sudah ku tebak, pasti akan seperti itu jawabannya. Dasar Viola, tidak bisa membedakan mana yang bercanda dan mana yang seriusan.

Kalau semua pedagang bakso di Dharmasraya ini memakai formalin atau boraks. Polisi sibuk dengan tugas barunya.

Setiap hari sibuk memeriksa ratusan warung bakso. Baik yang berdiri secara resmi maupun warung bakso abal-abal di pinggir jalan.

"Jadi kita pergi ke arah mana, beb?" Tanya Viola.

Aku melemparkan tas ke kursi belakang. Mobil Viola masih nyaman. Aku berpikir sejenak. Menyusuri memori tentang bakso yang enak di sekitar kampus.

"Kita ke warung baksonya Haji Bakhrie saja, Viol."

Viola termangu, ia tidak segera menghidupkan mobilnya. Aku bersabar menunggu. Ku hidupkan AC, untuk menghilangkan hawa panas yang mulai menelusup lewat kaca.

"Ngomong-ngomong, warung bakso Haji Bakhrie kemana arahnya beb?" Viola memasang wajah bingung.

Aku menepuk jidat. Katanya kuliah di Jepang. Bloonnya kok tidak hilang juga ya.

Kenapa harus diam sedari tadi. Jika tidak tau kemana arah dan tujuan. Aku kira, Viola masih ingat jalan menuju warung bakso Haji Bakhrie.

Secara, tuh warung bakso. Menjadi tempat favorit Viola semasa SMA. Masak terlupakan begitu saja. Dasar Viola. Membuatku naik darah saja, hari ini.

"Kita lurus saja terus, beb. Nanti ada tikungan, belok kanan. Ketemu tikungan lagi, belok kiri. Terus belok kanan, kiri lagi, kiri, dan terakhir lurus. Ketemu deh," terangku kepadanya.

Sepasang bola mata itu, berputar seratus delapan puluh derajat. Bingung dengan apa yang barusan ku jelaskan.

"Bingung? Biar aku aja yang bawa mobilnya," aku yang turun tangan.

Viola tersenyum puas. Mungkin memang seperti ini yang ia inginkan. Membuatku merasa kesal dengan tingkahnya. Alhasil, aku yang menyetir.

Ia hanya duduk manis. Tak perlu sibuk mencari jalan. Mobil pun segera melaju. Membelah lengangnya jalanan Dharmasraya.

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang