"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," tutur bapak-bapak yang memeriksa denyut nadi Fadil.
Sudah tidak ada lagi harapan. Semua telah pergi. Kebahagiaan gadis polos, yang semakin menangis tergugu. Menatap nanar kekasih hatinya.
Kekasih yang meninggalkan segenggam kenangan manis di dalam benaknya. Aku tidak bisa semakin dekat dengan mereka. Ada bentangan jarak yang sangat panjang.
Sebuah benteng yang menjulang tinggi telah memisahkan alam kami. Aku melihat, betapa sedihnya gadis itu. Gadis masa lalu, yang tidak lain adalah diriku sendiri.
"Tuhan!! Tidakkah Engkau bisa menghidupkan insan yang telah mati? Bukankah Engkau yang Maha Menghidupkan? Hidupkanlah kekasihku kembali, Tuhaan!! Hidupkan!!!," teriakku sekuat tenaga.
Hanya pilu, kenangan selalu menyisakan luka perih di hati. Terbenam lembut dalam memori kenangan. Tubuh kekasihku, dibawa pergi dengan ambulance. Jelita yang masih polos, mengekor di belakang tubuh kekasihnya, yang berlumuran darah.
Matanya sembab, ribuan pedang tajam telah merenggut kebahagiaannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menyentuh tubuh kekasihku saja, aku tidak bisa.
Ini hanya kenanganku, masa laluku yang telah usai. Namun, takdir mengulangnya kembali, dalam dunia yang berbeda. Takdir memang tidak pernah merestui kebahagiaanku.
Takdir memang jahat, kenapa harus aku yang mengalami semua penderitaan ini. Apakah aku mempunyai kesalahan di masa lalu. Keluargaku mungkin? Lantas, kenapa harus aku yang menjadi korban takdir kesedihan.
Aku meraung, meratapi kenangan ini. Wajahku tersungkur. Terbenam dalam tanah. Aku tidak sanggup. Sungguh, aku tidak sanggup melewati ini semua.
"Sayang," sapa bunda peri.
Nada bicaranya begitu lembut terdengar. Menelusup masuk ke dalam genderang telingaku. Aku hanya diam. Cukup sudah, hatiku terluka.
Usai sudah permainan bunda peri. Aku akan pulang, pulang dengan caraku sendiri. Aku tidak mau ikut lagi dengan bunda peri. Bunda peri sangat jahat. Membuat kenangan indah, sekaligus menyakitkan ini kembali terkuak.
"Bundaa! Bisa tidak, nggak usah ngganggu Jelita lagi? Jelita sudah muak dengan sikap bunda!!" Bentakku.
Sepasang bola mataku yang hitam, memerah. Desiran darah amarahku, kian menggelora. Mulutku, siap menerkam siapa saja yang ada di hadapanku.
"Jelita, bunda tidak bermaksud de...."
"Apa? Hahhh!!" Nadaku kian meninggi.
"Setelah bunda membawaku mengarungi bahtera kebahagiaan lewat awan Sirrus. Bunda melemparkanku ke dalam jurang kesedihan. Jurang kenangan yang memilukan. Inikah tujuan bunda yang sesungguhnya? Haahh!!! Jawab bundaa!! Jangan diam saja!! Jelita bukan manusia yang tolol bunda!!"
Lengang sejenak, aku kembali menangis. Belum bisa bangkit dari kenangan manis sekaligus terburuk yang pernah menghiasi hariku.
Banyak sekali, kenangan yang ingin ku putar dalam memori kecil otakku. Namun kenapa? Kenapa harus memori tentang senja? Awan Nimbostratus? Sedan putih? Kenapa harus kenangan itu yang kembali terulang di hidupku kali ini.
"Sayang, mari kita pulang," tutur bunda peri.
Kristal bening itu terus mengalir. Mata bunda peri semakin sembab. Aku tidak peduli dengan hal itu. Aku tidak mau lagi ikut dengan bunda peri. Bunda peri adalah bunda yang paling jahat yang pernah aku temui.
"Jelita nggak mau! Bunda pulang sendiri sana, jangan bawa-bawa Jelita," kataku sambil mendorong tubuh yang bersayap itu.
Bunda terlempar beberapa senti dariku. Rasa ibaku telah lenyap. Berganti kebencian yang tak terhingga. Yang kini, terus bertambah, semakin subur rasa benci itu di dalam hatiku.
Bunda peri hanya menatapku, dengan tatapan kosong. Masih tidak percaya dengan sikapku barusan. Sikap yang sangat kasar kepadanya.
Aku tidak mempedulikannya. Toh, bunda peri bukanlah sosok yang baik bagiku. Bunda peri hanyalah sosok penghancur kebahagiaan, bagiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dalam Doa
SpiritualMasa lalu? Menyedihkan? Menyenangkan? Semua insan pasti memiliki masa-masa indah dan masa paling menyakitkan dalam hidup ini. Begitulah takdir menggoreskan tinta kehidupannya. Terkadang, kenangan membawa kita menyelami masa lalu. Entah itu yang men...