01. Totokan Irama Seruling

10.5K 137 2
                                    

Kabut malam mulai menyelimuti seluruh kota Hang-ciu. Di sebelah timur kota Hang-ciu terdapat sebuah bangunan gedung mentereng yang berdiri megah dan angker di kegelapan malam.

Dari dalam gedung yang megah dan angker ini lapat-lapat terdengar gelak tawa orang banyak.

Seorang pemuda mengenakan jubah panjang warna putih, seperti pemuda pelajar umumnya tengah beranjak cepat menuju ke arah gedung besar ini, pemuda itu berpaling menengadah melihat cuaca, memandang sang putri malam yang memancarkan cahayanya yang terang cemerlang. Ditimpah cahaya sang bulan purnama kelihatan sikap tegas dan watak keras dari wajah pemuda yang putih cakap itu.

Sejenak ia berhenti mengamat-amati gedung besar dihadapannya, ujung mulutnya mengulum senyum, sedikit pundaknya bergoyang gerak tubuhnya sudah terbang tinggi ke tengah udara langsung melesat ke atas wuwungan ruangan besar terus meluncur turun memasuki ruangan pesta itu.

Suara tawa dan percakapan ramai dalam ruangan besar seketika sirap. Dengan berputar tubuh pemuda itu menjelajahkan pandangannya ke seluruh ruang besar itu. Penerangan terpasang terang benderang, meja besar perjamuan berputar tiga lingkaran, yang terletak paling tengah sana duduk seorang tua bermuka merah, dua lilin besar di belakangnya tengah terbakar menyala menerangi sebuah huruf "SIU" (panjang umur) yang besar dari kertas mas.

Semua mata memandang heran ke arah si pemuda. Mereka merasa takjub akan kepandaian silatnya begitu lihaynya sampai sudah mendarat di dalam ruangan besar itu baru hadirin mengetahuinya.

Setelah berputar memeriksa keadaan seluruh ruangan pesta ini si pemuda langsung menghadap ke arah si orang tua bermuka merah itu, serunya sambil menjura, "Siautit Hun Thian-hi, mendapat perintah dari orang tua untuk menyampaikan salam panjang umur, setindak telah terlambat harap paman suka memberi maaf!"

Waktu Hun Thian-hi memperkenalkan diri si orang tua muka merah mengerutkan kening dan mengunjuk rasa heran dan curiga, dengan tajam ia awasi Hun Thian-hi bibirnya bergerak seperti hendak berkata apa, tapi urung diucapkan. Selanjutnya air mukanya lantas menunjukkan rasa kejut dan marah. Sekilas kedua biji matanya melirik ke seluruh ruang, sekejap saja wajahnya berubah lagi menjadi beringas dan gusar.

Hun Thian-hi seakan tidak merasa dan tidak tahu akan segala perubahan air muka si orang tua muka merah, acuh tak acuh seperti anak kecil yang ketarik akan sesuatu yang memincut hatinya ia berputar dan celingukan menatapi satu persatu seluruh hadirin. Setelah sepasang mata tajam berkilat menerawang seluruh isi ruang pesta ini, ujung mulutnya lagi-lagi menampilkan senyum dikulum.

Mendadak berkelebat cahaya aneh dan mengejutkan terpancar dari kedua biji matanya tanpa merasa sebelah tangannya mengelus Seruling batu pualam di pinggangnya. Ternyata bahwa di kedua samping kiri kanan si orang tua merah duduk sepasang muda mudi, sorot pandangan mereka berdua juga berkilat mengandung ketajaman yang luar biasa, pandangan muda-mudi itu juga tertuju ke arah dirinya.

Dengan muka gusar si orang tua muka merah membentak kepada Hun Thian-hi, "Siapa kau? Berani kau mengaku sebagai putra Hun Siau-thian, Hun-toako untuk menyampaikan salam hormat kepadaku?"

Seluruh hadirin yang terdiri dari orang-orang gagah persilatan terkejut, begitu mendengar nama Hun Siau-thian disebut. Harus diketahui bahwa Hun Siau-thian adalah tetua dari Bu-lim-sam-ciat pada duapuluh tahun yang lalu, dengan menggembol dan bersenjatakan Badik Buntung, ia belum pernah mendapat tandingan di seluruh jagat. Selama duapuluh tahun terakhir jejaknya menghilang tak karuan paran. Sungguh di luar dugaan hari ini ada seseorang yang berhubungan dekat dengan beliau muncul disini menyampaikan salam hormat.

Hun Thian-hi mengulum senyum tawar, katanya pelan-pelan, "Jangan takut! Aku tidak akan menuntut balas, kedatanganku ini hanya mau minta balik Badik Buntung saja, apa kau minta bukti?" — dari dalam lengan baju tangan kanannya ia melolos keluar sarung pedang pendek sepanjang satu kaki entah terbuat besi atau mas, yang terang sarung Pedang ini memancarkan cahaya terang terus diangsurkan ke depan orang tua muka merah.

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang