54. Simpati Murid Bu Bing Loni

2.5K 51 1
                                    

Begitu memasuki Bi-seng, seluruh rakyat dan pasukan di sana menyambut mereka dengan sorak sorai yang gegap gumpita. Ma Bong-hwi sedikit kikuk, langsung mereka menuju ke gedung kediamannya.

Begitu masuk di dalam, Baginda segera menyongsong keluar, betapa girang hatinya sungguh sukar dilukiskan, sampai tidak bisa berkata-kata.

Segera Ma Bong-hwi sembah hormat, serunya, "Hamba terlalu tidak becus sampai terjatuh di tangan Ing Si-kiat, hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh negeri, harap Baginda suka memberi hukuman yang setimpal."

Baginda tertawa, ujarnya, "Soal ini sulit diduga sebelumnya, kau bisa selamat dan situasi sudah dapat diatasi, tidak perlu kau salahkan diri sendiri lagi!" lalu ia berpaling dan berkata pada Hun Thian-hi, "Tio-ciangkun sungguh gagah perwira, tentu kau sudah banyak capai."

Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, "Sekarang Ma-ciangkun sudah pulang dengan selamat, segala sesuatunya pasti dapat dibereskan. Hamba masih ada sedikit urusan, mohon ijin untuk keluar sebentar!"

Tuan putri menjadi gugup, serunya, "Kau sudah begitu letih, ada urusan apa lagi, apakah tidak bisa besok saja?"

"Urusan ini sangat penting, aku sendiri merasa sudah terlambat, bila segera tidak kususul kesana, entah apa akibatnya nanti!"

"Jadi maksud Tio-ciangkun sekarang juga hendak berangkat?" sela Ma Gwat-sian gelisah.

"Belum tahu," sahut Thian-hi, ia tahu orang salah paham, maka sambungnya, "Tapi gurumu pasti juga disana, bila itu benar-benar selanjutnya aku tidak akan kembali lagi."

"Apa!" teriak Tuan putri gugup, "Kau hendak pulang ke Tionggoan?"

Ma Bong-hwi berjingkrak kaget, teriaknya, "Apa! Thian-hi! Kau......"

Hun Thian-hi tersenyum lebar, katanya, "Terdesak oleh keadaan, sekarang juga aku harus pergi!" lalu ia menjura memberi hormat kepada seluruh hadirin, cepat-cepat terus berlari keluar.

Baginda sendiri merasa di luar dugaan, namun tiada alasan ia mencegah pemberangkatan orang, terpaksa ia berteriak, "Tio-ciangkun, bila kau sudi, Thian-bi-kok selamanya menyambut kedatanganmu dengan tangan terbuka!"

Thian-hi melambaikan tangan serta nyatakan terima kasih, setelah segala barang-barangnya diambil langsung ia melayang cepat keluar. Seluruh penghuni kota Bi-seng berbondong-bondong keluar mengantar pemberangkatan Thian-hi.

Thian-hi sudah siap untuk meninggalkan tempat ini, namun selama empat bulan ia menetap di Thian-bi-kok kesannya terlalu mendalam, ia menjadi berat untuk meninggalkan negeri kecil ini. Tapi serta teringat kejadian yang bakal terjadi di tebing tinggi sana, kakinya menjadi semakin cepat melangkah, langsung ia menuju ke utara keluar lewat pintu utara. Para penjaga di atas benteng kota menjadi heran, tak tahu mereka kemana Hun Thian-hi hendak pergi.

Waktu Thian-hi mendongak tampak burung dewata itu masih terbang berputar-putar di atas tebing curam itu, berdebuk jantung Thian-hi, gebrak perkelahian kali ini pasti sangat seru dan sengit, sampai lama ternyata masih belum ada kepastian siapa lebih unggul atau asor.

Tengah ia berpikir-pikir dan melangkah lebih cepat, tiba-tiba burung dewata itu terbang di atas kepalanya, berputar dua kali. Waktu Thian-hi mendongak, tampak Siau Hong tengah bercokol di atas punggung burung dewata itu, baru saja ia hendak berteriak memanggil, burung dewata itu sudah menukik turun hinggap di tanah. Di lain saat Siau Hong sudah muncul di depan matanya, kedua biji matanya yang bundar besar terkesima mengawasi dirinya.

"Siau Hong!" panggil Thian-hi tertawa.

Siau Hong berkata kaget, "Tak nyana kau berada disini, kenapa kau berdandan demikian?"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang