Berkilat biji mata Hwesio Jenaka, katanya tertawa lebar, "Tak perlu diungkat lagi, soal itu aku sudah tahu seluruhnya. Sebab musahabab persoalan ini kelak kau akan tahu jelas. Bila kau ketemu Ah-lam Cuncia, beliau bisa memberi penjelasan kepadamu hal-hal yang ingin kau ketahui, sekarang jangan kau risaukan persoalan ini."
Thian-hi tidak paham akan kata-kata Hwesio Jenaka.
Dalam pada itu, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain maju ke depan Hun Thian-hi serta kata mereka, "Sekarang kami sudah sadar, untuk selanjutnya kami tidak akan turun gunung dan berkecimpung di Kang-ouw. Hun-siauhiap kami mohon diri!"
"Ah kenapa para Ciaupwe begitu sungkan!" cepat Thian-hi menyahut
Lam-bing-it-hiong berkata sambil menghela napas, "Kelak bila Hun-siauhiap memerlukan tenaga kami silakan panggil saja, kami pasti bantu sekuat tenaga, Hun-siauhiap tidak usah rikuh!"
"Memang tidak lama lagi mungkin aku perlu bantuan kalian, biarlah lain waktu kita bicara lagi, bila ada waktu aku pasti bertandang ke tempat Cianpwe masing-masing."
Beramai-ramai Lam-bing-it-hiong dan lain-lain lantas ambil berpisah.
Sekarang ganti Ham Gwat yang maju kehadapan Hun Thian-hi katanya perlahan, "Hun-siauhiap. Gwat-sian sudah berangkat pulang ke Thian-bi-kok!"
Thian-hi jadi melongo, tahu dia bahwa Ham Gwat pasti sudah bertemu dan bicara dengan Gwat-sian, dan yang jelas bahwa hubungan mereka adalah begitu intim.
Melihat sikap Thian-hi itu Ham Gwat melanjutkan berkata, "Dia adalah adik angkatku, kuharap kau tidak menyia-nyiakan cintanya. Bagaimana keadaannya kau kan sudah jelas, sekarang juga kau harus cepat menyusul kesana."
Sekian lama Thian-hi terlongong, bicara menurut sanubarinya memang ia harus segera menyusul ke selatan, apalagi jiwa hidup Ma Gwat-sian tinggal tiga bulan lagi, betapapun ia tidak tega meninggalkan kesan buruk kepada gadis remaja yang lemah lembut. Soalnya adalah kata-kata ini terucapkan oleh Ham Gwat maka kepentingan ini menjadi lain pula artinya, seolah-olah ia dibayangi kekuatiran lain, bahwa dia tidak sepantasnya melakukan hal itu.
Mendadak terasa olehnya bilamana ia melakukan hal ini, berarti dia telah menipu Ma Gwat-sian, dapatkah dibenarkan kelakuanku ini. Begitulah perang bathin berkecamuk dalam benaknya, entahlah sesaat ia sulit mengambil kepastian.
Kata Ham Gwat lagi, "Kuharap kau segera berangkat, tapi bila kau tidak sudi menyusul kesana akupun tidak memaksa, tapi dapatkah kau mempertanggung jawabkan kepada sanubarimu?"
Thian-hi mengertak gigi, ia menunduk penuh penderitaan batin, bayangan Gwat-sian selalu terbayang dalam benaknya. Tapi sekarang dia menghadapi Ham Gwat, sedang Ham Gwat minta dia segera pergi, bila benar dia melaksanakan kehendaknya, entah bagaimana akibatnya kelak.
Tak berani ia memikirkan lebih lanjut, apalagi kedengarannya Ham Gwat menggunakan nada yang ganjil bicara padanya. Serta merta timbul rasa sungkan dalam hatinya untuk menampik permintaannya itu, tapi ia tidak kuasa menampilkan rasa hatinya itu dengan kata-kata, seolah-olah dadanya menjadi sesak dan sulit terlampias.
Dengan lekat Ham Gwat pandang Thian-hi agaknya iapun dapat memaklumi perasaan Thian-hi, pelan-pelan ia menambahkan, "Ayahku pergi mencari ibuku, sengaja kukemari memberitahu akan hal ini!" lalu ia menunduk serta sambungnya, suaranya lebih lirih, "Kecuali itu aku tiada cara lain untuk mengatasi persoalan ini! Gwat-sian adalah anak angkat ayah, hubungan kami sangat baik, aku tidak tega melihat ia pulang dengan hati yang hancur dan putus asa, ini akan membawa akibat yang lebih fatal bagi kesehatan badannya yang lemah itu."
Thian-hi menjadi haru, katanya angkat kepala, "Biarlah kuajak dia kembali, nanti kubawa ke Bu-la-si untuk mencari kalian bagaimana?"
Ham Gwat manggut-manggut dengan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badik Buntung - Chin Tung
PertualanganAwalnya hendak meminta Badik Buntung, senjata peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal kepada seorang teman ayahnya membuat Hun Thian Hi menjadi musuh Rimba Persilatan. Tanpa sengaja menerima sebuah ilmu sesat dari seorang tokoh Iblis memb...