Setelah berada di luar Thian-hi menghela napas, perasaan terasa enteng, waktu berpaling Sutouw Ci-ko sudah tak kelihatan, segera ia naik kuda, pedang di tangannya diamat-amati, pedang ini rada halus lencir dan panjang, bobotnya lebih ringan dari pedang biasa. Bayangan Sutouw Ci-ko kembali terbayang dalam benaknya.
Kuda putih pelan-pelan berjalan ke depan. Haru benar perasaan Thian-hi, tiada seorang pun di dunia ini yang memberi pengharapan besar terhadap dirinya, kecuali Sutouw Ci-ko seorang yang punya keyakinan akan masa depannya, ini merupakan dorongan kuat bagi dirinya sehingga ia dapat memulihkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Terketuk sanubarinya, tanyanya pada diri sendiri, 'Dimana jiwa gagah dan keperwiraanmu dulu?'
Thian-hi mendongak dipandangnya sekeliling yang sepi hampir gelap, tanpa merasa ujung bibirnya mengulum senyum bangga. Terpikir dalam hatinya, jangan aku membuat mereka kecewa! Sebentuk bayangan yang sangat dikenalnya terbayang di depan matanya. Dia tahu, dia tak pernah berbuat salah apapun juga, kenapa pula berkeluh kesah tanpa juntrungan? Tapi iapun amat sadar bahwa bahaya selalu mengintai disekitar dirinya.
Setelah tiba di bawah gunung, membedakan arah langsung Thian-hi menuju ke Bu-la-si. Semalam suntuk Thian-hi melakukan perjalanan jauh. Waktu terang tanah, jauh di depan sana Thian-hi melihat Bun Cu-giok sedang menanti kedatangannya.
Melihat Thian-hi menunggang kuda Sutouw Ci-ko menyoreng pedangnya pula, Bun Cu-giok mendengus ejek, pedang mas dan cambuk perak segera dikeluarkan.
Melihat tingkah Bun Cu giok itu, Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Bun-pangcu, perbuatanmu ini kelak kau pasti menyesal!"
"Hun Thian-hi," desis Bun Cu-giok dengan muka membesi gusar, "Aku mendapat perintah dari perguruan, harus menunaikan tugas, harap kau suka ikut aku pergi ke Bu-tong!"
Thian-hi mengangkat alis, katanya tertawa bangga, "Bun-pangcu selamanya kau paling jelas bagaimana sepak terjangku, terpaksa aku harus mengecewakan kau."
"Kau tak sudi pergi, tugas perguruanku tak bisa kubangkang, terpaksa aku harus berlaku kasar terhadapmu'."
Thian-hi mendongak bergelak tawa, berubah air muka Bun Cu-giok, sinar perak berkelebat secepat kilat meluncur, cambuk perak terayun, 'Tar!" membelit ke arah leher Thian-hi.
"Sreng!" Thian-hi melolos pedang, pedang panjang mengiris miring, tepat sekali berhasil menyontek ujung cambuk Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok tertawa dingin, tubuhnya tiba-tiba melompat mumbul di tengah udara terbang jumpalitan satu lingkaran, cambuk peraknya tergentak bergulung-gulung menggulung ke arah pedang Thian-hi berbareng pedang mas di tangan kanan menyelonong maju menusuk tengah mata Thian-hi.
Thian-hi memperkuat jepitan kakinya di perut kuda, kuda putih lantas berlari maju, dimana pedang panjangnya bergetar ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai, sekaligus dua sasaran serangan Bun Cu-giok dari kedua jurusan kena dipunahkan.
Bun Cu-giok menggerung murka, pedang masnya kena disampok mental balik oleh daya pertahanan Thian-hi, belum lagi tubuhnya meluncur turun di tengah udara kakinya menjejak kaki yang lain, tubuhnya lantas meluncur ke depan menghalangi jalan Thian-hi, berbareng ia menyerang pula dengan tabasan yang lebih ganas.
Melihat Bun Cu-giok dapat bergerak begitu lincah dan enteng, menyerang pula dengan keji. Thian-hi menarik kekang kudanya ke samping terus lari ke pinggir jalan.
Bun Cu-giok mengejar. Thian-hi jejakkan kakinya dipedal kuda tubuhnya lantas mencelat tinggi, di tengah udara tubuhnya rada bergerak miring, dengan jurus Hun-liong-pian-yu pedangnya merabu dengan gencar.
Bun Cu-giok menghardik keras, kedua tangan bergerak bersama, pedang dan cambuk menangkis dan balas menyerang, jalan darah Thian-bun dan Ki-kut yang mematikan menjadi incaran ujung pedang mas yang berkilauan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badik Buntung - Chin Tung
AventuraAwalnya hendak meminta Badik Buntung, senjata peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal kepada seorang teman ayahnya membuat Hun Thian Hi menjadi musuh Rimba Persilatan. Tanpa sengaja menerima sebuah ilmu sesat dari seorang tokoh Iblis memb...