Begitulah sambil bercakap-cakap Thian-hi berdua menempuh perjalanan, terlihat oleh Thian-hi wajah Pek Si-kiat dirundung hawa kekuatiran yang melesukan hati, beberapa kali ia niat bertanya namun selalu urung.
Diam-diam heran Thian-hi, akhirnya tak tertahan ia bertanya, "Paman Pek, apa pula yang perlu kau katakan?"
Pek Si-kiat ragu sebentar, katanya, "Hun-hiantit, ingin kutanya kau, Wi-thian-chit-ciat-sek sudah sempurna kau latih belum?"
Mendengar orang menanyakan soal itu, berdetak jantung Thian-hi, tahu dia bahwa urusan pasti rada janggal, atau pasti terjadi sesuatu yang menyulitkan, soalnya Pek Si-kiat masih kuatir bila Wi-thian-chit-ciat-sek nya belum sempurna sulit untuk mengatasi soal ini, maka dia tidak berani membuka mulut.
Dari sikap dan raut muka Pek Si-kiat dapat diraba bahwa persoalan ini tentu sangat penting dan genting, katanya, "Yang lain tidak berani kukatakan, melulu menghadapi Tok-sim-sin-mo kiranya cukup berlebihan!"
"Apa benar?" Pek Si-kiat menegas dengan muka kegirangan. "Hian-tit, ada sesuatu hal yang harus kau sesalkan terhadapku, harap kau suka memaafkan!"
"Soal apakah sebenarnya, harap paman suka menjelaskan?"
"Kalau dibicarakan sungguh memalukan, aku kehilangan taci angkatmu Sutouw Ci-ko!"
"Apa?" tanya Thian-hi berjingkrak.
"Ka-yap Taysu menyuruh aku menunggu sampai burung dewata muncul, bila kau turun segera kami harus langsung pulang ke Tionggoan, bila kau tidak turun, sepuluh hari kemudian aku harus naik ke atas tebing menyambut kau. Tapi aku kehilangan Sutouw Ci-ko terpaksa aku memburu ke atas."
Thian-hi menenangkan hati, katanya, "Paman tahu cara bagaimana menghilangnya?"
"Diculik oleh Tok-sim-sin-mo!"
"Bukanlah Ci-ko tidak punya permusuhan apa dengan mereka."
"Benar, tapi Ci-ko bersama aku, kubawa dia mengembara di Kang-ouw, entah bagaimana akhirnya Tok-sim tahu bahwa aku juga sudah lolos, berulang kali ia mengutus anak buahnya mencari aku minta aku masuk menjadi anggota gerombolan mereka, namun dengan tegas kutolak. Siapa kira dia malah menculik Ci-ko sebagai sandera."
Thian-hi menjadi gugup, katanya, "Entah bagaimana pula keadaan Ci-ko?"
"Dia minta aku menjadi anggota dan diangkat sebagai Wakil Pangcu, sudah tentu dia tidak berani siksa atau mempersulit Ci-ko, namun bila terlalu lama kurasa kurang leluasa juga. Aku tahu tenagaku bukan lawan Tok-sim, jalan yang terbaik hanya mencari kau. Bila Wi-thian-chit-ciat-sek sudah sempurna kau latih, apa pula yang perlu ditakuti?"
Thian-hi sudah melulusi permintaan Ham Gwat untuk menyempurnakan dulu latihan Wi-thian-chit-ciat-sek di Thian-bi-kok ini baru pulang ke Tionggoan. Tapi kejadian ini terpaksa harus merubah pula keputusannya, bgaimana juga ia harus segera menyusul kesana untuk menolong Sutow Ci-ko meski ilmu pedangnya belum sempurna.
Karena itu terpaksa Thian-hi harus menyelusuri pula jejak-jejak berdarah di kalangan Kang-ouw, dan seluruh dunia persilatan bakal gempar pula karena Thian-hi muncul pula di Kang-ouw, yang jelas dia harus langsung berhadapan dengan para gembong-gembong iblis yang lihay dan jahat itu. Dunia persilatan bakal bergelombang dan tiada ketenteraman hidup lagi.
Justru karena Wi-thian-chit-ciat-sek belum lagi sempurna latihannya, Thian-hi sendiripun harus menempuh mara bahaya yang selalu mengancam jiwanya.
Begitulah bersama Pek Si-kiat mereka melakukan perjalanan cepat siang malam untuk menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman sarang iblis.
◄Y►
Hari menjelang magrib, sang surya sudah hampir terbenam di ufuk barat, cahayanya nan kuning keemasan terang benderang menerangi jagat raya, di atas tanah tandus yang berdebu ke arah timur tampak bayangan dua ekor kuda yang memanjang ke depan, di atas kuda ini masing-masing bercokol Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badik Buntung - Chin Tung
AventureAwalnya hendak meminta Badik Buntung, senjata peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal kepada seorang teman ayahnya membuat Hun Thian Hi menjadi musuh Rimba Persilatan. Tanpa sengaja menerima sebuah ilmu sesat dari seorang tokoh Iblis memb...