Tak tertahan bercucur deras air mata Hun Thian-hi.
Orang tua itu tersenyum manis, ujarnya, "Kenapa kau, waktu pertama kali kubertemu dengan kau, kemana pula sikapmu yang gagah perwira tak mengenal takut itu. Sikap congkak memang boleh asal bukan tulang congkakmu saja yang melandasi segala sepak terjangmu!"
Sejenak Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia menyeka air mata dengan tangan kanannya terus bergegas bangun dengan tangkasnya.
Orang tua itu tersenyum lebar, pelan-pelan memejamkan matanya lagi.
Sebaliknya orang tua alis putih membelalakkan kedua matanya, mulutnya menjebir dan bersuit panjang melengking, serempak mereka berempat duduk tegak menyilangkan tangan di depan dada, berbareng tangan kanan terayun kencang, empat tongkat pualam kontan melesat terbang menghilang, maka dilain saat jiwa merekapun ikut melayang dengan duduk sempurna.
Sekian lama Hun Thian-hi termangu-mangu dengan mengembeng air mata, tiba-tiba ia membalik tubuh menghadap Bu Bing Loni dan membentak, "Sehari aku Hun Thian-hi masih hidup, sakit hati ini harus kubalaskan!"
Bu Bing Loni bergantian mengawasi empat orang tua yang sudah wafat itu, lalu melirik ke arah Hun Thian-hi dengan senyum ejek, waktu pandangannya beradu pandang dengan sorot mata Thian-hi tanpa merasa terkesiap hatinya. Terasa sorot pandangan Hun Thian-hi begitu tajam dan menakutkan, selama hidup dan malang melintang di dunia persilatan rasanya belum pernah ia merasa was-was dan kekuatiran yang luar biasa. Hatinya menjadi bertanya-tanya dan heran kenapa pancaran mata Hun Thian-hi bisa begitu tajam dan menakutkan, bukan saja mengandung rasa kebencian yang menggelora terasa pula tersembunyi kepintaran luar biasa yang sulit diraba.
Dengan mengkirik segera ia memutar tubuh ke arah gadis baju hitam serta serunya, "Gwat-ji, mari kita pulang."
Dingin-dingin saja sekilas gadis baju hitam menyapu pandang ke arah Hun Thian-hi, lalu membungkuk tubuh memberi hormat kepada Bu Bing Loni, sahutnya, "Ya, Suhu!"
Dengan rasa takut-takut dan keheranan Siau Hong mengawasi Thian-hi, lalu tersipu-sipu membalikkan tubuh mengintil di belakang nonanya, maka dilain kejap mereka bertiga sudah terbang makin tinggi di tengah angkasa menunggang burung dewata yang besar itu.
Entak berapa lama Thian-hi berdiri termenung seorang diri. Pandangan gadis baju hitam tadi meski hanya sekilas saja, terasa olehnya pandangan yang dibekali rasa dendam dan kebencian yang mendalam, entahlah apa dan kenapa gadis remaja itu begitu benci kepadanya.
Thian-hi mendelong mengawasi Soat-san-su-gou, suara mereka masih terkiang dalam kupingnya prihatin si orang tua alis putih serta belas kasihan si orang tua betul-betul berkesan dan takkan terlupakan olehnya. Walaupun mereka baru kenal sehari semalam, namun budi dan kebaikan yang telah tertanam akan dirinya tidaklah kalah besar dibanding gurunya sendiri Seruling Selatan Kongsun Hong yang telah mengasuhnya selama puluhan tahun.
Pelan-pelan ia menghela napas lalu mendongak mengawasi angkasa, bayangan Bu Bing Loni dan gadis baju hitam bertiga sudah menghilang di ujung langit.
Diam-diam Thian-hi menerawang kemana tujuan selanjutnya. Siapakah dua tokoh yang dimaksud di Tiang-pek-san itu? Sekian lama ia terpekur, setelah berlutut dan menyembah lagi kepada Soat-san-su-gou terus turun gunung.
Setelah tiba dikaki Gunung salju, Thian-hi langsung mengambil jalan menuju ke utara, menyelusuri tembok Besar terus beranjak menuju ke timur laut.
Dataran tinggi tanah merah di daerah utara sangat panas, disini jarang kelihatan orang berlalu lalang, dimana-mana angin menghembus keras, debu dan pasir bergulung menari di tengah angkasa. Menunggang seekor kuda Thian-hi pelan-pelan melarikan tunggangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badik Buntung - Chin Tung
AdventureAwalnya hendak meminta Badik Buntung, senjata peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal kepada seorang teman ayahnya membuat Hun Thian Hi menjadi musuh Rimba Persilatan. Tanpa sengaja menerima sebuah ilmu sesat dari seorang tokoh Iblis memb...