"Blang!" tiba-tiba sebuah pintu batu di samping sana meluncur jatuh pula, sekarang mereka menjadi terhimpit di antara alingan dua pintu batu yang tebal.
Dari luar suara Nyo Ceng terdengar dingin, "Selama hidupku bila tidak terpaksa tidak pernah aku main silat dengan orang lain!"
Thian-hi pandang kedua dinding pintu yang tebal itu, beratnya paling ringan ribuan kati, jarak antar kedua pintu ini empat kaki, bila tidak bisa keluar, terpaksa mereka harus menunggu ajal terkurung disitu.
Su Giok-lan menyimpan pedangnya, dengan kedua tangan ia menepuk-nepuk pintu, terdengar suara mendengung yang berat, sedikitpun pintu itu tidak bergeming.
Thian-hi berpikir dengan gabungan tenaga dalam dua orang mungkin dapat merobohkan, tapi lalu cara bagaimana menolong Coh Jian-jo? Kelihatannya panjang lorong ini setiap berjarak empat-lima meter pasti terpasang sebuah daun pintu, mungkinkah satu persatu dapat membobolnya?
Akhirnya Su Giok-lan menghela napas, tanyanya. "Hun-toako, bagaimana sekarang?"
Thian-hi melolos serulingnya, katanya, "Giok-lan! Akan kugempur pintu ini, begitu pintu ini runtuh kau harus cepat menerjang keluar. Jangan sampai Nyo Ceng melarikan diri!"
Mendengar ucapan Thian-hi begitu mantap Su Giok-lan manggut-manggut, pedang dikeluarkan dan siap-siap.
Hun Thian-hi mengerahkan ilmu saktinya, tiba-tiba tubuhnya melambung ke tengah udara berputar satu lingkaran terus menutulkan serulingnya keluar, begitu Wi-thian-chit-ciat-sek dilancarkan pintu itu tergoyang gontai lalu pelan-pelan ambruk ke arah samping sana. "Blum!" batu krikil dan pasir serta debu bertebangan. laksana anak panah Su Giok-lan melesat keluar, dimana ia gerakkan pedangnya dengan jurus Jiu-si-jian-ciu setabir sinar pedang laksana ribuan benang sutera mengurung semua hadirin.
Berubah air muka Nyo Ceng, setindak pun ia tidak berani maju, dengan bungkam ia menatap Thian-hi berdua. Ujung pedang mengancam tenggorokan.
Thian-hi tersenyum manis, serunya, "Nyo-tayhiap! Sekarang boleh kau ajak kami menemui Coh Jian-jo bukan?"
Nyo Ceng tertawa-tawa, sahutnya. "Kalian ingin benar kesana? Aku kuatir kau dapat masuk takkan dapat keluar pula!"
"Kalau kita mau pergi sudah tentu ada kau Nyo Tayhiap yang menunjukkan jalannya, tidak menjadi soal tak bisa keluar. Pintu-pintu penghalang macam ini tidak menjadi soal bagi aku!"
Nyo Ceng tertawa, ujarnya, "Sekarang aku sudah bekerja bagi Tok-sim-sin-mo, sudah tentu aku harus setia pada tugasku, jangan kau nanti salahkan aku, dapat masuk tak dapat keluar, hal ini kutegaskan sekali lagi pada kau!"
"Aku tidak ambil perhatian soal itu!" sahut Thian-hi dengan sikap wajar.
Nyo Ceng tertawa lebar, tanpa bicara lagi ia mendahului jalan di depan, Thian-hi menyapu lihat kedua dinding samping, benar juga banyak terdapat daun pintu yang terporot di dinding-dinding itu, penjagaan diatur sedemikian rapi dan ketat, sungguh sulit dibayangkan.
Rada jauh mereka berjalan belak belok akhirnya tercegat sebuah daun pintu yang terbuat dari besi, tebal pintu besi ini kira-kira setengah kaki, pintu bisa tertutup dari luar. Nyo Ceng berkata, sambil tertawa, "Kunasehatkan pada kalian sekali lagi, janganlah masuk kesana!"
Sambil memincingkan mata Thian-hi pandang Nyo Ceng, terasa olehnya bahwa kata-katanya ini memang bermaksud baik, sesaat ia berpikir lalu sahutnya tertawa, "Bagaimana juga aku harus masuk kesana!"
Sesaat Nyo Ceng termenung lalu ia beranjak masuk lebih dulu, katanya, "Aku tiada punya permusuhan apa dengan kalian, kenapa kalian harus memaksa aku?"
"Lekas jalan!" bentak Su Giok-lan, "Kita masih punya urusan penting yang lain."
Pandangan Nyo Ceng rada kecewa, akhirnya ia membalik tubuh dan melangkah lebih lanjut, pintu besi itu pelan-pelan tertutup sendiri dengan mengeluarkan suara gemuruh dan "Blum" tertutup rapat dan kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badik Buntung - Chin Tung
AbenteuerAwalnya hendak meminta Badik Buntung, senjata peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal kepada seorang teman ayahnya membuat Hun Thian Hi menjadi musuh Rimba Persilatan. Tanpa sengaja menerima sebuah ilmu sesat dari seorang tokoh Iblis memb...