10. Pembelaan Pak-kiam dan Lam Siau

2.2K 48 0
                                    

Terdengar Pak-kiam Siau Ling berkata, "Sepak terjang muridku sangat memalukan dan membikin buruk nama perguruan saja, tak berani lapor kepadaku hanya disampaikan kepada istriku saja, sampai sekarang baru aku jelas duduk perkaranya, sengaja kita datang untuk memanggil pulang kedua muridku yang tak genah itu!"

Lam-siau Kongsun Hong tertawa, katanya, "Urusan yang sudah lalu buat apa disinggung lagi, yang terang mereka kena ditipu oleh pamannya apalagi demi nama baik perguruan maka mereka tak berani memberi laporan, maka tak perlu lah terlalu salahkan mereka."

Pak-kiam Siau Ling menghela napas, ujarnya, "Betapa pun mereka tak bisa diberi ampun."

"Thian-hi!" kata Kongsun Hong, "Ayo, beri hormat kepada Pak-kiam suami istri, inilah Pak-kiam Siau Ling dan Siau-siang-cu To Bwe yang sangat kau kagumi itu!"

Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi sembah hormat, "Cianpwe berdua harap terimalah sembah sujud Wanpwe Hun Thian-hi!"

"Tak usah banyak peradatan," ujar Pak-kiam Siau Ling, "perbuatan muridku kurang dapat dihargai, biarlah aku mewakili mereka minta maaf kepadamu!"

"Mana Wanpwe berani terima. Belum lama berselang aku berjumpa dengan saudara Su dan adiknya."

"Dimana mereka?" tanya Siau Ling, mukanya rada berubah.

Hun Thian-hi rada sangsi, ia berpaling memandang ke arah Kongsun Hong.

Kata Kongsun Hong kepada Pak-kiam, "Ah, urusan bocah tak perlu dipikirkan!"

"Saudara Su telah meninggal," demikian Hun Thian-hi menerangkan singkat.

Bagai disambar petir seketika Pak-kiam berdiri menjublek, Siau-siang-cu To Bwe melangkah maju menjambret baju Thian-hi teriaknya, "Apa! Kaukah yang membunuhnya?"

"Bukan!" sahut Thian-hi cepat. "Dia menemui ajal di bawah tangan Kim-i Kongcu Leng Bu!"

Siau-siang-cu To Bwe melepas tangan, gumamnya, "Kim-i Kongcu Leng Bu! Lalu kemana Giok-lan?"

Thian-hi menunduk, setelah rada sangsi ia menyahut lirih, "Sudah pergi!"

"Leng Bu! Leng Bu!" mulut Pak-kiam menggumam. Matanya terpejam dan mengalirkan air mata.

Hun Thian-hi berkata lirih, "Leng Bu juga telah kubunuh!"

To Bwe berdiri terlongong. "Kenapa tadi tidak kau ceritakan kepadaku?" tanya Lam-siau.

Thian-hi bungkam, terpekur sekian lamanya baru pelan-pelan ia mengisahkan pengalamannya yang baru terjadi belum lama berselang.

"Takdir! Takdir!" desis Siau Ling sembari menghela papas.

Dari atas tembok terdengar lagi gelak tawa yang kumandang, sesosok bayangan hijau melayang turun, teriaknya tertawa, "Kalian mengobrol begitu gembira, kita menjadi tidak sabar menunggu, maka menyusul kemari!"

Beruntun dari atas tembok melayang turun lagi dua sosok bayangan manusia.

Tawar-tawar saja Lam-siau tertawa, katanya, "Kiranya adalah Thi-kiam Lojin dari Bu-tong dan Hwi-lam-it-lo, dan sahabat ini kalau aku tidak salah lihat tentu Im-hong-ciang Lim Bing adanya."

Dua orang yang datang belakangan adalah dua orang seorang membawa sebatang pedang yang terselip di punggungnya, seorang lain menggembol sebatang tongkat warna hijau, orang ketiga adalah laki-laki berusia tiga puluhan air mukanya membeku dingin tentu dia inilah yang berjuluk Im-hong-ciang Lim Hong.

Seru Thi-kiam Lojin bergelak tawa, "Kongsun Tayhiap sendiri juga sudah hadir, sungguh baik sekali. Entah tindakan apa yang segera kau jatuhkan kepada muridmu ini Kongsun Tayhiap?"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang